Menteri ESDM Ungkap Alasan Energi Baru Terbarukan Sulit Dicapai
Indonesia sebetulnya sangat potensial mengingat tingkat penyinaran mataharinya relatif lebih panjang dibandingkan dengan negara lain.
Nasional
JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan sejumlah tantangan berkembangnya energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.
Meski terjal, pemerintah tetap optimistis menjaga target penambahan 16,7 Giga Watt (GW), sesuai pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028.
“Ada beberapa tantangan pengembangan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) ini,” kata Arifin dalam diskusi virtual yang digelar PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN, dikutip Kamis, 24 September 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Dalam paparannya, Arifin menjelaskan tantangan pertama adalah masalah harga. Dari sisi ekonomi, EBT belum cukup kompetitif jika dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
“Harga EBT masih relatif lebih mahal dibandingkan pembangkit konvensional,” ungkap dia.
Kedua, sifat pembangkit yang intermittent, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB). Sehingga perlu kesiapan sistem untuk menjaga kontinuitas pasokan tenaga listrik.
Di sisi lain, pembangkit listrik yang murah seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), PLT Minihidro, dan PLT Panas Bumi, umumnya terletak di daerah konservasi yang jauh dari pusat beban.
Untuk itu, kata dia, membutuhkan waktu relatif lama dalam pembangunannya. Mulai dari perizinan, kendala geografis, hingga keadaan kahar (longsor).
Ketiga, terkait bioenergi, pengembangan pembangkit biomassa maupun biogas memerlukan jaminan pasokan feedstock selama masa operasinya. Meski begitu, Indonesia sebetulnya sangat potensial mengingat tingkat penyinaran mataharinya relatif lebih panjang dibandingkan dengan negara lain.
Perkembangan EBT
Akan tetapi, bukan berarti EBT tidak memiliki perkembangan. Dalam catatan Kementerian ESDM, PLT panas bumi telah mencapai 5,84% atau 2.131 Giga Watt Hour (GWh) dari target 4,94% (14,77 GWh).
Sementara realisasi PLTA mencapai 8,04% atau 6.857 GWh dari target 6,23% (18,63 GWh). Sedangkan, untuk EBT lainnya realisasinya mencapai 3,24 GWh atau 0,29%, melebihi dari target yang ditetapkan, yakni 1,01 GWh.
Adapun serapan bauran pembangkit gas mencapai 17,81% atau setara 175.119 British Billion Thermal Unit (BBTU).
Sedangkan serapan bauran pembangkit Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) mencapai 3,75%. Rinciannya, volume 0,86 juta kilo liter untuk BBM dan 0,29 juta kilo liter untuk BBN. “Total realisasi produksi listrik sebesar 133.216 GWh,” ujarnya. (SKO)