Pekerja mengangkat gulungan kain bahan di pusat grosir tekstil Pasar Tanah Abang, Jakarta, Jum'at, 20 Mei 2022. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Makroekonomi

Menunggu Keadilan agar Pasar Tetap Hidup

  • Sepinya pengunjung telah membuat sejumlah pedagang di pasar ini terjebak dalam keadaan yang pelik, bahkan beberapa di antara mereka terpaksa harus menutup usahanya karena aktivitas jual beli yang semakin menurun.

Makroekonomi

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Pasar Tanah Abang dahulu menjadi magnet bagi para pengunjung dan pedagang, saat ini menghadapi situasi sulit. 

Sepinya pengunjung telah membuat sejumlah pedagang di pasar ini terjebak dalam keadaan yang pelik, bahkan beberapa di antara mereka terpaksa harus menutup usahanya karena aktivitas jual beli yang semakin menurun. Kondisi ini ternyata tidak terbatas pada Pasar Tanah Abang saja, melainkan juga dialami hampir di semua sentra perdagangan retail di Jakarta, termasuk Glodok, Cipulir, Thamrin City, Ratu Plaza, dan sejumlah tempat lainnya.

Dilansir dari ui.ac.id, Jumat 23 September 2023, pakar ekonomi digital, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Ibrahim Kholilul, mengungkapkan penurunan aktivitas jual beli ini dipengaruhi oleh faktor demand (permintaan) dan supply (penawaran) yang bekerja bersama-sama.

Dari sisi demand, Ibrahim menjelaskan bahwa proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cenderung melemah. Proporsi konsumsi rumah tangga terhadap PDB pada pertengahan tahun 2023 adalah yang terendah dalam sepuluh tahun terakhir. Masyarakat juga terlihat lebih berhati-hati dalam pengeluaran mereka, terutama dalam meningkatkan tabungan, terlihat dengan peningkatan jumlah tabungan di bawah Rp 5 miliar.

Dari sisi supply, masuknya barang-barang impor dari luar negeri, terutama dari China, yang dijual dengan harga lebih murah melalui platform digital, telah membuat barang-barang yang dijual secara langsung di pasar atau offline menjadi kurang bersaing dari segi harga. Platform penjualan online menjadi lebih menarik bagi konsumen karena mudah diakses dan harga yang lebih terjangkau. Selain itu, digital platform umumnya memiliki network effect yang besar, menarik lebih banyak penjual dan pembeli.

Dalam jangka panjang, ada beberapa kerugian yang mungkin akan dialami oleh konsumen. Misalnya, produk yang dipersonalisasi cenderung menggeser pembelian yang semula bersifat "ingin" menjadi "butuh." Hal ini dapat membuat semua barang terasa penting untuk dibeli oleh masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengganggu kondisi keuangan rumah tangga.

Dalam menghadapi masalah penurunan aktivitas jual beli dan dominasi platform online terhadap produk-produk impor, Ibrahim menekankan pentingnya adanya mitigasi yang didukung oleh kebijakan pemerintah yang memiliki sifat regulatory impact assessment. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah perlindungan terhadap produk-produk lokal dari tindakan-tindakan yang bersifat antikompetitif yang dapat dilakukan oleh platform digital.

Langkah-langkah regulasi yang cermat dan bijaksana dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih seimbang bagi para pelaku bisnis lokal. Ini termasuk pengawasan terhadap praktik-praktik seperti penetapan harga yang tidak adil atau penekanan terhadap pesaing lokal oleh platform online besar. 

Dengan mengimplementasikan aturan yang adil dan transparan, pemerintah dapat memberikan kesempatan yang lebih adil bagi bisnis lokal untuk bersaing dan tumbuh di era ekonomi digital.