Menunggu Wajah Baru Riset Pendidikan Tinggi di Era Prabowo
- Indonesia menempati posisi ketujuh negara di Asia dalam jumlah publikasi ilmiah terbanyak. Namun, temuan lain bahwa 16,73% di antaranya terbit di jurnal predator, menempatkannya di posisi kedua setelah Kazakhstan.
Nasional
JAKARTA – Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah melakukan terobosan baru dengan membagi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menjadi tiga bagian utama.
Langkah ini diambil dengan harapan dapat meningkatkan fokus dan efektivitas masing-masing sektor. Salah satunya adalah dengan membentuk Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk memacu kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, yang tidak hanya berfokus pada kuantitas.
Hal tersebut sangat relevan dengan kondisi pendidikan tinggi Indonesia yang belakangan ini diwarnai berbagai polemik seperti obral gelar doktor kepada para pejabat dan maraknya publikasi ilmiah di jurnal predator yang terindeks Scopus.
- Nasib Sritex: Dulu Dibanggakan Jokowi, Ambruk juga di Era Jokowi
- Begini Komentar AFPI setelah OJK Cabut Izin Usaha Investree
- Kemnaker Minta Sritex (SRIL) Tak Buru-buru Lakukan PHK Massal
Yang menarik perhatian Prabowo menunjuk Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yaitu Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri, yang didampingi oleh dua Wakil Menteri, Stella Christie dan Fauzan, yang kesemuanya berlatar belakang akademisi.
Asal tahu saja, Satryo Soemantri Brodjonegoro, mantan Dirjen Pendidikan Tinggi dan Ketua AIPI, dikenal sebagai tokoh di balik otonomi kampus serta pendiri Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI). Ia diharapkan dapat memperbaiki kebijakan dan pengelolaan di sektor pendidikan tinggi, sains, dan teknologi.
Sementara itu, Stella Christie, adalah seorang akademisi yang memiliki pengalaman di Amerika Serikat dan Cina, yang kini mengajar di Tsinghua University, diproyeksikan mampu mendorong peningkatan kualitas riset pendidikan tinggi di Indonesia.
Adapun, Fauzan, merupakan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang, yang juga diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan mutu kurikulum pendidikan tinggi di Tanah Air melalui keahliannya dalam manajemen pendidikan.
Kehadiran ketiga akademisi ini memberikan secercah harapan dalam peningkatan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya dalam aspek publikasi yang tidak hanya berfokus pada kuantitas, tetapi juga kualitas publikasi.
Kuantitas Vs Kualitas
Data Scimago Journal & Country Rank menunjukkan jumlah publikasi ilmiah Indonesia yang terindeks di Scopus pada tahun 2022 mencapai 43.300 dokumen, meningkat tajam 912,87% dari 4.275 dokumen pada 2012.
Dapat dibilang, peningkatan ini didorong oleh kebijakan pendidikan tinggi dan insentif dari Kementerian Pendidikan, termasuk edaran Dirjen Dikti pada 2012 yang mendorong publikasi di jurnal internasional bereputasi.
Dengan jumlah publikasi tersebut, Indonesia sukses menempati peringkat tujuh negara di Asia dalam hal publikasi di jurnal terindeks Scopus. Namun, ini kontras dengan temuan Vít Machacek dan Martin Srholec yang dipublikasi di jurnal MIT Press menemukan Indonesia menempati posisi kedua setelah Kazakhstan, dengan 16,73% artikel dari penelitinya diterbitkan di jurnal predator yang terindeks Scopus selama 2015–2017.
Machacek dan Srholec mengenditifikasi jurnal predator di Scopus dengan mencocokkan nama jurnal dari daftar Beall dengan ISSN di Ulrichsweb, kemudian mengambil data Scopus dan menganalisis jumlah artikel per negara.
Keduanya menganalisis 172 negara yang mempublikasi penelitian di empat bidang (ilmu kesehatan, ilmu kehidupan, ilmu fisik, dan ilmu sosial) dengan mempertimbangkan faktor ekonomi, seperti PDB per kapita. Hasilnya menunjukkan bahwa negara-negara dengan ekonomi menengah dan sektor riset besar, khususnya di Asia dan Afrika Utara, lebih rentan menerbitkan di jurnal predator.
Hal ini relevan dengan insiden yang terjadi pada 10 April 2024, ketika Retraction Watch melaporkan bahwa Kumba Digdowiseiso, seorang dekan di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, diduga mencatut nama-nama akademisi dari Universiti Malaysia Terengganu (UMT) tanpa sepengetahuan mereka dalam publikasi ilmiahnya.
Yang mencengangkan, menurut profil Google Scholar, Kumba berhasil menerbitkan 160 publikasi pada tahun 2024, yang menimbulkan kontroversi di kalangan akademisi karena adanya dugaan penggunaan jurnal predator.