Menurut Pakar, Kasus BPJS-TK Tidak Sama dengan Jiwasraya dan Asabri
JAKARTA – Pakar ekonomi dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Roy Sembel mengatakan kasus di Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK) tidak bisa disamakan dengan kasus yang dihadapi PT Asuransi Jiwasraya dan PT ASABRI. Dalam diskusi Infobanktalknews bertajuk, “Pengelolaan Investasi dan Potensi Unrealized Loss pada Lembaga Milik Negara, Apakah Pasti Menjadi Kerugian Negara?”, di Jakarta, Selasa, […]
Korporasi
JAKARTA – Pakar ekonomi dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Roy Sembel mengatakan kasus di Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS-TK) tidak bisa disamakan dengan kasus yang dihadapi PT Asuransi Jiwasraya dan PT ASABRI.
Dalam diskusi Infobanktalknews bertajuk, “Pengelolaan Investasi dan Potensi Unrealized Loss pada Lembaga Milik Negara, Apakah Pasti Menjadi Kerugian Negara?”, di Jakarta, Selasa, 23 Februari 2021, Roy mengatakan, dugaan tindak pidana atas penurunan nilai investasi (unrealized loss) BPJS-TK berbeda dengan kasus Jiwasraya dan Asabri.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
“Portofolio BPJS-TK berisi saham-saham LQ45. Unrealized loss terjadi mengikuti kondisi naik dan turunnya pasar. Sementara itu, kasus unrealized loss yang terjadi di Jiwasraya karena berisi saham-saham gorengan yang naik turunnya sangat volatile,” kata Roy.
Sementara itu, pengamat hukum pasar modal Indra Safitri menuturkan, kerugian investasi merupakan risiko pasar yang akan dihadapi investor. Unrealized loss adalah kerugian secara buku, bukan faktual.
Karena itu, perlu pembuktian secara hukum, apakah ada perbuatan melawan hukum yang menjadi sebab kerugian investasi dengan menggunakan pranata hukum pasar modal.
“Jika potensi kerugian atau kerugian yang belum dibukukan masuk ranah merugikan negara, pasal ini tentu akan menakutkan untuk semua pihak yang terlibat mengurus investasi. Namun jika kerugian disebabkan oleh risiko bisnis, maka tidak menjurus ke pidana.,” katanya.
Pada Agustus hingga September 2020, BPJS-TK mengalami unrealized loss hingga Rp43 triliun. Akhir Desember 2020 nilainya turun menjadi Rp22,31 triliun, lalu pada Januari 2021 unrealized loss BPJS-TK hanya tinggal Rp14,42 triliun.
Artinya, potensi kerugian bisa naik dan bisa turun, tergantung harga saham di pasar modal yang menjadi portofolio BPJS-TK.
Sementara itu, kontribusi pendapatan termasuk dari saham dan reksa dana yang menjadi pilihan investasi BPJS-TK menghasilkan nilai yang cukup besar. Hasil investasi bruto selama 2016 hingga 2020 sebesar Rp137,2 triliun dan Rp33 triliun (reksa dana dan saham).
Chairman Infobank Institute Eko B. Supriyanto dalam kegiatan yang sama menambahkan unrealized loss BPJS-TK tidak ada artinya jika melihat hasil investasi bruto BPJS-TK dari saham dan reksa dana.
Dinamika Pasar Saham
Pasar saham tentu punya dinamika. Jika kondisi baik, ekonomi baik, kemungkinan harga saham juga bergairah. Apabila ekonomi sedang terpuruk, harga saham berguguran. Namun, ketika mulai membaik dan banjir likuiditas maka harga saham kembali terbang.
Eko menyayangkan jika penyidikan oleh Kejaksaan Agung RI dilakukan hanya karena atas laporan masyarakat. Sebab, menurutnya, akan kontra produktif bagi pengembangan pasar modal.
Salah satu dampak itu akan menebar ketakutan tidak hanya bagi BPJS-TK, tapi juga lembaga lain, khususnya direksi yang mengurus investasi.
Ia melanjutkan, dampak serius lainnya adalah pasar modal akan menjadi sepi karena berinvestasi di pasar saham menakutkan dan penuh risiko ancaman dikriminalisasi.
“Direksi juga akan main aman di instrumen deposito, yang sudah tentu imbal hasilnya kecil, yang tidak menarik bagi peserta BPJS-TK. Semua akan main aman, dan pasar modal jadi tak bergairah,” ungkapnya.
Eko berharap kasus yang membelit BPJS-TK ini tidak menjadi bola panas yang merembet ke instasi lain yang mengurus investasi.
Kasus Jiwasraya dan ASABRI tidak bisa dijadikan preseden bagi semua, namun harus dilihat kasus per kasus. Meski dari luar tampak sama, Eko mengatakan harus melihat prosesnya, dan saham-saham yang dikoleksi BPJS-TK kelas LQ45 juga tidak ada saham gorengan.
“Harus dibedakan kerugian karena risko bisnis dan korupsi, dan dalam hal ini BPJS-TK karena risiko bisnis yang berlum direalisasi. Masih punya peluang rebound,” tutupnya.