Ilustrasi tambang pasir laut.
Nasional

Menyibak Duduk Perkara Ekspor Pasir Laut

  • Para kritikus menuduh bahwa PP Nomor 26 Tahun 2023 hanya merupakan bentuk greenwashing. Sebuah strategi yang menutupi dampak negatif lingkungan dengan dalih menjaga ekosistem.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Kebijakan ekspor pasir laut yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 terus menuai pro dan kontra sejak diterbitkan pada tahun 2023. PP ini mulai berlaku pada 2024 di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, memungkinkan kembalinya ekspor pasir laut setelah sebelumnya sempat dilarang.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengesahkan dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 20 dan 21 Tahun 2024, yang membuka kembali ekspor pasir laut. 

Hal ini menjadi langkah konkret untuk memulai kembali ekspor hasil sedimentasi laut, sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Aktivis Yakin Lingkungan Pasti Rusak

Meski disambut baik oleh beberapa pihak, kebijakan ini mendapatkan kritik tajam, terutama dari organisasi lingkungan seperti Greenpeace dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). 

Mereka menilai kebijakan ini sebagai ancaman serius terhadap ekosistem laut dan mata pencaharian nelayan. Menurut mereka, penambangan pasir laut dapat merusak lingkungan pesisir dan memperburuk ketidakadilan sosial bagi masyarakat pesisir yang bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan.

Menanggapi kritik tersebut, Presiden Joko Widodo menegaskan ekspor yang dimaksud bukanlah pasir laut secara umum, melainkan sedimen laut yang diambil untuk menjaga alur pelayaran kapal. Tujuannya adalah untuk memperbaiki alur navigasi dan menjaga keseimbangan ekosistem, bukan sekadar mengeksploitasi sumber daya alam laut.

"Yang diperbolehkan itu adalah sedimen pasir yang berada di jalur laut untuk kapal-kapal. Hati-hati, tolong dilihat. Kalau memang bukan itu, itu ya nggak benar," dalam keterangannya saat meresmikan smelter tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI), di Gresik, Senin, 23 September 2024 yang lalu.

Tudingan Greenwashing

Para kritikus menuduh bahwa PP Nomor 26 Tahun 2023 hanya merupakan bentuk “greenwashing”, sebuah strategi yang menutupi dampak negatif lingkungan dengan dalih menjaga ekosistem. Mereka berpendapat kebijakan ini lebih menguntungkan elit ekonomi dan perusahaan besar, sementara masyarakat lokal yang terdampak langsung justru dirugikan.

“Penambangan pasir laut dapat merusak ekosistem laut, menghancurkan habitat keanekaragaman hayati, serta memperparah abrasi pantai dan banjir rob,” tegas Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Afdillah, Dikutip laman lembaga lingkungan Mongabay, Jumat, 27 September 2024.

Greenpeace dan KIARA juga menyoroti kurangnya transparansi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam proses kajian dan pemberian izin kepada perusahaan yang terlibat dalam ekspor pasir laut. 

Menurut mereka, meskipun tujuan utama PP ini adalah pemulihan ekosistem laut, implementasinya lebih banyak mengatur mekanisme perizinan dan penambangan pasir, ketimbang pemulihan lingkungan yang dijanjikan.

“Aturan ini semakin menambah daftar panjang kebijakan pemerintahan Jokowi yang jauh dari semangat perlindungan lingkungan, serta lebih mementingkan kepentingan oligarki dan pengusaha,” tambah Afdillah.

Hingga kini, kritik tetap dilontarkan terhadap minimnya langkah-langkah konkret pemerintah dalam mewujudkan pemulihan lingkungan yang menjadi tujuan utama dari PP Nomor 26 Tahun 2023. 

Alih-alih fokus pada upaya konservasi, regulasi yang ada justru memudahkan proses ekspor pasir laut. Kritik-kritik ini mendorong masyarakat untuk terus mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan laut di tengah kepentingan ekonomi.

“Pemerintah harus segera mencabut peraturan ini dan fokus melindungi lautan kita, serta berhenti mengeksploitasi lautan kita secara serampangan seperti yang terjadi selama ini,” pungkas Afdillah.

Kebijakan ini akan terus menjadi perhatian publik, terutama dari kelompok-kelompok pemerhati lingkungan dan masyarakat pesisir, seiring dengan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan pelestarian ekosistem laut.