<p>Ilustrasi aset kripto Bitcoin / Pixabay</p>
Industri

Menyingkap Taring Ditjen Pajak Mengeruk Penerimaan Negara di Ranah Digital

  • Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan manuver besar dalam mencari penerimaan pajak. DJP menyasar sejumlah potensi penerimaan pajak dari ranah digital mulai tahun lalu, dari pajak produk digital hingga rencana pajak aset kripto.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan manuver besar dalam mencari penerimaan pajak. DJP menyasar sejumlah potensi penerimaan pajak dari ranah digital mulai tahun lalu, dari pajak produk digital hingga rencana pajak aset kripto.

Meski dikenai pajak, Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harma melihat rencana tersebut semakin mengukuhkan legalitas kripto di mata negara.

Kendati demikian, Taufik mewakili pelaku pasar kripto menyebut volatilitas yang tinggi membuat rencana besaran Pajak Penghasilan (PPh) final mesti lebih rendah ketimbang pasar modal.

“Kami ajukan PPh final di angka 0,05% atau setengah dari PPh final di pasar modal,” kata Teguh melalui pesan singkat kepada reporter TrenAsia, Senin 17 Mei 2021.

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Randy menyebut langkah DJP mengeruk pajak aset kripto punya potensi yang tinggi. Hal ini sejalan dengan jumlah investor dan nilai transaksi di pasar aset kripto yang merangkak naik.

“Saya kira potensinya cukup besar terutama pada pos pajak penghasilan. Karena kalau dilihat kontribusinya PPh final ini mencapai 19%, dan menjadikan penerimaan jenis pajak ini terbesar kedua setelah Pajak penghasilan pasal 25 dan 29. Namun tentu ini dengan asumsi bahwa investasi jenis pajak ini akan berkembang di dalam negeri,” kata Yusuf kepada Trenasia.com, Senin 17 Mei 2021.

Yusuf menilai skema tarif pajak progresif paling ideal dalam mengeruk pendapatan di aset kripto ini. Hal ini, kata Yusuf, disebabkan karakteristik dari aset kripto yang punya volatilitas yang tinggi.

Selain itu, aspek pengawasan dari pajak aset kripto dinilai Yusuf lebih mudah diimplementasikan bila dikenakan langsung dari setiap transaksi.

”Per individu investor atau langsung dipotong dari setiap transaksi. Kalau saya melihatnya lebih ideal pilihan yang kedua, untuk menyederhanakan administrasi pelaporan,” terang Yusuf.

Sebelum dilirik DJP, transaksi aset kripto di Indonesia tergolong abu-abu. Regulasi aset kripto sendiri baru diterbitkan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) pada 2019.

Ketentuan itu termaktub dalam Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka, yang terakhir kali diubah oleh Peraturan Bappebti No. 3 Tahun 2020.

Chairman Asosiasi Blockchain Indonesia Oham Sunggio menyebut perkembangan aset kripto perlu diregulasi dari segi perpajakan untuk memperkuat aspek perlindungan konsumen.  Oham mendorong pengaturan pajak ini tidak dapat memberatkan para investor.

“Bagaimana supaya mereka (investor) tidak keberatan sama sekali, apalagi banyak juga investor yang berdarah-darah,” terang Oham dalam Webinar ‘Lapor Pajak Bitcoin, Emang Perlu? – Kupas tuntas cara mengatur pajak dan legalitas aset kripto’

Membidik Kenaikan PPN

Tidak hanya kripto, penerimaan pajak coba dieskalasi DJP dengan rencana kenaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Wacana ini berhembus di tengah semakin banyaknya perusahaan produk digital yang ditunjuk DJP untuk memungut PPN kepada penggunanya.

DJP tercatat kembali menambah delapan perusahaan pemungut PPN pada Rabu, 5 Mei 2021. Maka, DJP secara keseluruhan telah menunjuk 65 perusahaan produk digital pemungut PPN. 

Potensi dari PPN produk digital ini pun tidak main-main. Pasalnya, pengguna dari produk digital di Indonesia semakin membengkak, terutama saat adanya pandemi COVID-19.

Mengambil contoh pengguna berbayar layanan Netflix yang sudah menyentuh 850.000 akun per Januari 2021. Perusahaan asal Amerika itu menguasai 34% dari pasar video on demand (VOD) di Indonesia.

Dengan asumsi harga paket layanan standar Netflix Rp153.000 per bulan dan PPN 10%, pemerintah sudah meraup Rp13 miliar hanya dari satu perusahaan saja.

Kondisi ini pun yang memacu DJP menaikkan tarif PPN. Namun, berbeda dengan rencana pajak aset kripto, kenaikkan PPN ini tidak menuai respon negatif di masyarakat.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyebut rencana perubahan tarif PPN belum tepat waktu. Tauhid meninjau realisasi dari PPN masih jauh dari harapan.

Tauhid memaparkan, rata-rata pertumbuhan PPN dan PPnBM hanya 6,9%. Menurut Tauhid, pengawasan PPN lebih tepat diterapkan ketimbang menaikkan tarif.

“Stagnasi pendapatan negara menjadi persoalan serius dan mendorong kenaikan pajak. Sementara kesejahteraan masyarakat dari PDB nya masih US$4.440, jadi buat apa dibebankan kalau kesejahteraan masih relatif rendah,”  kata Tauhid dalam diskusi virtual beberapa waktu lalu.

Sebaliknya, kebijakan ini dinilai Tauhid bakal mengancam pertumbuhan daya beli masyarakat. Bila tarif PPN meroket jadi 15%, Tauhid menyebut masyarakat berpotensi menurunkan volume daya belinya, termasuk untuk belanja layanan digital.

“Volume barang yang dikonsumsi berkurang, harga akan semakin mahal, Akhirnya penerimaan negara bisa turun,” ucap Tauhid.

Untuk diketahui, DJP mematok target pertumbuhan PPN dan PPnBM pada 2022-2024 mencapai 9,2%-12,1%. Sementara itu, Kemenkeu menargetkan penerimaan pajak pada 2022 bisa menyentuh Rp1.499,3 triliun-Rp1.528,7 triliun. (RCS)