
Merasa Terzolimi, P3RSI Minta PAM Jaya Sesuaikan Kelompok Pelanggan Rusun dari K III ke K II
- Perlu diketahui pelanggan PAM Jaya Kelompok III itu dijabarkan dalam Pasal 13 yang berbunyi: Kelompok III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c menampung jenis Pelanggan yang menggunakan kebutuhan Air Minum untuk mendukung kegiatan perekonomian dengan membayar Tarif Penuh.
Properti
JAKARTA – Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) Adjit Lauhatta mengeluhkan, selama ini warga rumah susun diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan Perumda Air Minum Jaya (PAM Jaya) dengan menempatkan kelompok pelanggan rumah susun sebagai K III bersamaan dengan gedung bertingkat komersial, seperti perkantoran, pusat perdagangan, Kondominium, dan gedung komersial lainnya yang kenaikkan tarif air bersihnya mencapai 71 persen dari Rp12.550 menjadi Rp21.500.
Menurut Adjit, secara hukum di Indonesia tidak dikenal istilah apartemen, yang ada adalah rumah susun (untuk hunian). Istilah apartemen digunakan sebagai marketing gimmick. Di samping itu, dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta, Nomor 37 tahun 2024, tentang Tata Cara Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya, khususnya pasal 10, menyebutkan: kelompok pelanggan PAM Jaya, terdiri atas: Kelompok I, II, III, dan Khusus.
“Harusnya PAM Jaya itu baca Pasal 12, ayat (1) yang menyebutkan: Kelompok II sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 huruf b, menampung jenis pelanggan rumah tangga yang menggunakan air minum untuk memenuhi standar kebutuhan pokok air minum sehari-hari dengan membayar tarif dasar. Meski kami di gedung bertingkat, kan juga adalah rumah tangga yang menggunakan air dari PAM Jaya untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Adjit kepada sejumlah awak media seusai acara Audiensi P3RSI dengan Komisi B dan Komisi C, di gedung DPRD DKI Jakarta, beberapa waktu lalu.
Karena itu, tegas Adjit, lebih tepat jika anggota pelanggan rumah susun, khususnya yang memiliki fungsi dan peruntukkan sebagai hunian, yang merupakan pelanggan rumah tangga yang menggunakan air minum untuk memenuhi standar kebutuhan pokok air minum sehari-hari, harusnya masuk dalam Kelompok II (K II).
”Kalau kami dikelompokkan di K III itu tidak tepat, bahkan zolim, karena menyamakan kami dengan pusat perbelajaan dan gedung komersial lainnya. Makanya Pasal 13 dalam Pergub itu dibaca dong. Hukum (peraturan) itu harus menyesuaikan perkembangan di masyarakat. PAM Jaya selama ini gunakan kaca mata kuda, kalau aturannya begitu ya tidak bisa lagi dirubah, meski jaman sudah berupa,” kata Adjit.
Perlu diketahui pelanggan PAM Jaya Kelompok III itu dijabarkan dalam Pasal 13 yang berbunyi: Kelompok III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c menampung jenis Pelanggan yang menggunakan kebutuhan Air Minum untuk mendukung kegiatan perekonomian dengan membayar Tarif Penuh.
”Di situ sangat jelas, K III adalah pelanggan yang menggunakan kebutuhan Air Minum untuk mendukung kegiatan perekonomian. Selama inikan tidak ada warga rumah susun yang buka usaha golan isi ulang dan rumah makan di unitnya. Jadi mengapa PAM Jaya tidak mau mengusulkan kepada Gubernur, agar anggota kami dapat disesuaikan golongan secara benar (K II). Padahal mereka juga lah yang mengusulkan adanya kenaikkan tarif ini kepada PJ. Gubernur Heru,” kata Adjit dengan nada kesal.
Cacat hukum
Anggota Komisi B DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Francine Widjojo yang juga ikut dalam audiensi tersebut mengatakan, PAM Jaya mengenakan kenaikan tarif 71,3% di bulan Januari 2025 kepada para penghuni apartemen dan kondominium (serta industri dan niaga lainnya termasuk motel, hotel bintang 1-5, dll) berdasarkan Keputasan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta 730/2024.
Namun Kepgub 730/2024 tersebut, ungkap Francine cacat formil, karena sesuai aturan harus ada Kepgub di tahun 2023 yang mengatur tarif batas atas dan tarif batas bawah air minum PAM Jaya, namun tidak ditemukan. Yang bisa ditemukan adalah Kepgub tahun 2022 yang mengatur tarif batas atas dan tarif batas bawah untuk tahun 2023.
”Konsepnya kurang lebih kalau diketenagakerjaan bahwa harus ada penetapan upah minimum terlebih dahulu yang menjadi landasan batas bawah upah pekerja,” jelas Francine.
Selain itu, lanjutnya, Kepgub 730/2024 cacat hukum karena kesalahan klasifikasi pelanggan yang melanggar Permendagri 21/2020 dan Pergub 37/2024 di mana penghuni apartemen (rumah susun) dan kondominium ditetapkan sebagai pelanggan komersial K III (industri/niaga) yang diharuskan membayar tarif penuh, sedangkan mereka seharusnya di K II (rumah tangga/hunian) yang membayar tarif dasar.
Francine mengatakan, kenaikan 71,3% menjadi Rp 21.500 (dari semula Rp 12.550) melanggar tarif batas atas air minum PAM Jaya yang berdasarkan rumus aturan seharusnya maksimal Rp 20.269/m3.
”Saat ini layanan PAM Jaya baru air bersih, bukan air minum, dan ada kekosongan hukum/belum ada landasan hukum terkait tarif air bersih. Karena UU SDA, PP 122/2015, Permendagri 21/2020, sampai pergub hanya mengatur tarif air minum PAM Jaya dan sudah didefinisikan bahwa air minum adalah air yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum,” pungkasnya.
Gagal paham
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS) Gading Nias Residences Edison Manurung mengkritik keras pernyataan anggota Komisi B, DPRD DKI dari Fraksi PDI Perjuangan (DPIP) Pandapotan Sinaga yang kepada media mengatakan, penghuni apartemen tidak berhak menerima subsidi air. Bahkan, seharusnya membayar sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pandapotan juga menyatakan, subsidi air harus disalurkan secara tepat sasaran dan tidak untuk kalangan tertentu, seperti penghuni apartemen mewah di kawasan Thamrin atau Kuningan. Inventarisir juga rumah susun siapa yang berhak mendapatkan subsidi.
Menurut Edison, wakil rakyat satu ini gagal paham dan tidak pengertian apa yang dibicarakannya. Selama ini pelanggan rumah susun PAM Jaya tidak pernah disubsidi, malah membayar tarif paling tinggi. Sebaliknya warga rumah susun untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) seperti Gading Nias tetapan dengan tarif golongan rumah susun menengah, bukan rumah susun sederhana sesuai Kepgug 730/2024.
”Kami sudah bersurat untuk disesuaikan golongan kami, tapi ditolak tuh. Kenapa anggota dewan terhormat ini tidak bela kami? Padahal itu sudah kami sampaikan dalam audiensi dengan mereka. Mereka harus paham dulu persoalan ini tidak asal ngomong, unit itu rusunami masuk dalam program pemerintah Pembangunan 1.000 Tower jaman wakil presiden Jusuf Kalla. Dan selama ini kami tidak dapat subsidi dari PAM Jaya, karena kami bayar dengan tarif rumah susun menengah,” tegasnya.