Meski Selamat dari Badai PHK, Karyawan Perusahaan Teknologi Ternyata Pikul Beban Berat
- Selamat dari Badai PHK, Karyawan Perusahaan Teknologi Memikul Beban Berat
Tekno
SILICON VALEY - Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) terus berlanjut. Sejumlah perusahaan terbesar dan paling terkenal di dunia, termasuk Amazon, Google, dan Goldman Sachs memangkas jumlah pekerja.
Para pekerja terdampak PHK tentunya memgalami ketidakpastian keuangan dan profesional yang luar biasa. Namun, perasaan kalut tersebut rupanya tak hanya menyerang karyawan terdampak PHK. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa pekerja yang selamat dari pemutusan hubungan kerja juga menderita.
Penelitian di Harvard Business Review menunjukkan bahwa karyawan yang tersisa mungkin bergumul dengan rasa tidak aman, semangat rendah, dan rasa bersalah. Hal ini, bisa berpengaruh terhadap menurunnya kinerja pekerjaan.
- Kementerian ESDM Tawarkan 10 Wilayah Kerja pada 2023
- Sepanjang 2022, Kementerian ESDM Cabut 1.981 Izin Usaha Pertambangan
- PNPB Minerba 2022 Capai Rp183,35 Triliun, Batu Bara Penyumbang Terbesar
- Cuma Rp86,25 Triliun, Realisasi Investasi Ketenagalistrikkan 2022 Turun
Mengutip Insider Selasa, 31 Januari 2023, Hannah, seorang manajer akun senior di sebuah perusahaan pemasaran yang berbasis di Inggris, adalah contoh utama. Pada Juni 2020, Hannah tiba-tiba diberi tahu bahwa dia dimasukkan ke dalam kumpulan redundansi bersama tujuh rekan lainnya.
Kala itu, perusahaan sangat terpukul oleh pandemi COVID-19 karena beberapa klien telah menarik anggaran dan membuat perusahaan mengalami guncangan.
"Tidak banyak waktu untuk memproses semuanya. Perusahaan mengatakan bahwa 75 persen dari kami akan kehilangan pekerjaa," ujar Hannah.
Setelah pemberitahuan, Hannah kemudian ditarik ke dalam proses redundansi empat minggu yang ditangani oleh agen eksternal yang akan menilai karyawan berdasarkan nilai-nilai perusahaan serta pengetahuan mereka.
Awalnya, obrolan grup dibuat di antara kumpulan orang untuk membantu saling mendukung menemukan pekerjaan baru. Hannah bersaksi, pada saat itulah mereka menyadari semua berada dalam situasi ini bersama.
Tapi begitu orang melihat skor di akhir empat minggu, obrolan grup menjadi hening dan rasa persatuan runtuh. Hannah dan kolega lainnya mendapat nilai tinggi dan dipertahankan. Namun, yang mereka rasakan adalah situasi berubah dari awalnya rekan kerja menjadi kontestan.
Pengalaman itu benar-benar merusak hubungannya dengan rekan-rekannya sekaligus membuatnya merasa manajemen perusahaan kurang empati.
Kesaksian lain diungkapkan ole Emily yang bekerja sebagai manajer komunikasi di sebuah perusahaan penerbitan kecil di London. Pada April 2020 ketika dia mengetahui bahwa seluruh timnya diberhentikan karena pandemi.
Perusahaan, yang pada saat itu mempekerjakan 12 orang, sebagian besar memangkas peran junior dan memberhentikan lima orang.
"Peran pekerjaan meningkat secara besar-besaran karena saya melakukan pekerjaan tiga orang.Jadi saya melakukan pekerjaan saya, dan pekerjaan sebagai humas yang berada di bawah saya dan seorang eksekutif pemasaran yang berada di bawah saya juga," ujar Emily.
Meski beban kerjanya berlipat ganda, Emily tak mendapatkan apresiasi. Alih-alih ditawarkan kenaikan gaji, manajemen malah menyarankan untuk memotong gaji Emily sebelum ia akhirnya menolak.
"Begitu redundansi hilang dan saya melakukan pekerjaan orang lain, saya seperti merasa tidak mungkin mereka bisa menyingkirkan saya jika tidak, bagian dari bisnis itu akan hilang begitu saja," katanya.
Emily menggambarkan perasaan saat itu sebagai momen yang sangat tidak memotivasi. setelahnya karena begitu banyak temannya telah diberhentikan, dan bekerja dari jarak jauh tidak membantu, rasa hormatnya terhadap manajemen pun turun.
Dengan berkurangnya jumlah tim ditambah lebih sedikit pertemuan, dia mengatakan hal-hal pasti mengubah budaya. Ia merasa dirinya jauh lebih terisolasi.
Emily akhirnya memilih resign pada tahun 2021. Ia mengatakan cobaan itu menjadikannya lebih memperhatikan budaya perusahaan saat mencari pekerjaan.