Minim Partisipasi Publik, Efektivitas Peraturan Turunan UU Kesehatan Diragukan
- Minimnya partisipasi publik ini juga dinilai dari minimnya informasi yang tersebar secara publik mengenai upaya penyusunan aturan turunan UU Kesehatan yang bersifat omnibus law.
Nasional
JAKARTA – Rencana Kementerian Kesehatan untuk meringkas aturan turunan Undang-Undang (UU) Kesehatan dari semula 108 Peraturan Pemerintah (PP) yang terpisah menjadi hanya satu PP diyakini harus disertai partisipasi publik.
Pendekatan ini dinilai krusial terutama dalam rangka meningkatkan efektivitas penyusunan aturan turunan seiring singkatnya target penyelesaian peraturan tersebut, yaitu pada September 2023.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai partisipasi publik dalam penyusunan aturan turunan UU Kesehatan ini belum optimal. “Jadi, perlu dikritisi terkait dengan partisipasi publik itu. Apakah di dalam perumusannya itu melibatkan pihak-pihak terkait atau tidak?” terangnya kepada wartawan.
Minimnya partisipasi publik ini juga dinilai dari minimnya informasi yang tersebar secara publik mengenai upaya penyusunan aturan turunan UU Kesehatan yang bersifat omnibus law tersebut. Saat ini, belum diketahui secara jelas seperti apa bentuk PP yang akan menjadi aturan turunan dari UU Kesehatan tersebut
. “Kalau misalkan jadi satu PP, berarti kan terdiri dari sejumlah klaster. Kalau tanpa klaster kan bisa bikin bingung. Nah, ini seperti apa?”
- Berdayakan Panel Surya, Sarana Menara (TOWR) Raih TrenAsia ESG Award 2023
- KTT G20: India Tolak Dikaitkan dengan Absennya Putin dan Xi Jinping
- Pertamina Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Muara Enim
Padahal, keterbukaan informasi dan transparansi dalam proses penyusunan perundang-undangan telah diamanahkan di UU Keterbukaan Informasi Publik. “Aturannya sudah ada. Jangan sampai prinsip kehati-hatian dalam menyusunannya ini terabaikan. Idealnya adalah partisipasi publik harus dikedepankan,” katanya.
Lemahnya prinsip kehati-hatian itu juga tercermin saat penyusunan draft UU Kesehatan waktu lalu, di mana sempat terdapat pasal yang menimbulkan penafsiran yang berbeda dan ambigu, misalnya pasal zat adiktif terkait tembakau.
Trubus melanjutkan ketika pemerintah membuka proses penyusunan aturan turunan kepada publik, setidaknya ada tiga hal fundamental yang bisa diraih. Pertama adalah komunikasi publik, kedua adalah informasi publik, dan ketiga adalah edukasi publik.
Diragukan
Di kesempatan berbeda, Direktur Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) yang juga Pakar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Fitriani Ahlan Sjarif, menyatakan hal yang sama. Partisipasi publik dibutuhkan agar efektivitas peraturan turunan UU Kesehatan bisa tercapai.
“Kalau secara status hukumnya bagus, bisa tercapai dalam waktu cepat. Perintah UU terpenuhi dan ini perlu dihargai. Tapi, efektivitasnya jadi diragukan karena partisipasi masyarakat belum cukup. Jadi, diragukan diterima publik,” ujarnya kepada wartawan.
- Cara Kurangi Tekanan Darah Tinggi Secara Alami
- 3 Cara Mengembangkan Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja
- Komitmen Dukung Implementasi Investasi Berkelanjutan, TrenAsia Gelar TrenAsia ESG Award 2023
Fitriani menambahkan target penyelesaian aturan turunan UU Kesehatan pada bulan September 2023 akan membuat partisipasi publik secara ideal tidak dapat terpenuhi. “Tapi, setidaknya dibuka saja ruang itu secara partisipatif sehingga sisa waktu yang ada ini bisa terpenuhi partisipasi publiknya.”
Terlebih, UU Kesehatan, sebagaimana omnibus law lainnya, memiliki ruang lingkup yang luas. Maka, terdapat tantangan, yaitu PP-nya sebagai aturan turunannya semakin gemuk. “Jadi, sebenarnya seharusnya PP-nya tidak dalam bentuk omnibus karena akan jadi lebih rumit dari UU Kesehatannya itu sendiri. Semakin gendut PP-nya, maka semakin banyak ruang lingkupnya, maka semakin banyak pula stakeholder-nya. Partisipasi publik ini yang seharusnya lebih besar,” pungkasnya.