logo
<p>Image Source : Republika.co.id</p>
Nasional

Minyak Goreng Masih Langka dan Semakin Mahal, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

  • Minyak Goreng Masih Langka dan Semakin Mahal, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah? JAKARTA - Persoalan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng yang ter

Nasional

Erwin C. Sihombing

JAKARTA - Persoalan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng yang terjadi sejak awal 2022 sejatinya dapat diatasi pemerintah. Ombudsman berharap Kementerian Perdagangan (Kemendag) dapat menyelesaikan persoalan ini sebelum bulan Ramadhan.

Ombudsman mendorong Kemendag untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan intervensi minyak goreng yang diyakini belum menyelesaikan masalah. Persoalan ini dapat diatasi dengan menyelesaikan disparitas antara domestic price obligation (DPO), harga eceran tertinggi (HET), dengan harga pasar yang mencapai Rp9.000.

“Karena disparitas tinggi pengawasan apapun akan sulit dilakukan, dalam waktu 1,5 bulan ini minyak goreng di pasar tradisional semuanya di atas HET,” kata Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers yang diadakan secara virtual, Selasa, 15 Maret 2022

Yeka menilai disparitas harga pula yang memunculkan banyaknya spekulan atau menurut Mendag Lutfi, mafia. Disparitas ini menurut versi Ombudsman merupakan biang keladi dari kemahalan harga minyak goreng.

Berdasarkan pemantauan Ombudsman di 274 pasar yang tersebar di Indonesia, mayoritas pasar tradisional menjual minyak goreng di atas HET mencapai Rp30.000. Sementara HET yang ditetapkan pemerintah untuk minyak goreng paling mahal Rp11.500 per liter, minyak goreng kemasan Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium mahal Rp14.000.

“Kalau kita lihat per hari ini isu minyak goreng ini sudah berubah dari yang tadinya mahal menjadi langka, dan masih mahal,” ungkapnya.

Ombudsman mengapresiasi intervensi pemerintah menerapkan domestic mandatory obligation (DMO) dari hasil ekspor CPO dan memberlakukan HET. Namun dari total 415.787 ton CPO atau setara 461.985 kiloliter yang digelontorkan ke dalam negeri tidak cukup menjawab persoalan.

Ombudsman mengusulkan pemerintah mengatasi disparitas dengan melepas distribusi minyak goreng premium kepada mekanisme pasar. Sementara DMO tetap diterapkan untuk menjamin kebutuhan konsumen dalam negeri.

“Kita bisa saja menuduh adanya kartel, mafia, penimbunan, tetapi kita melihat itu adalah sebuah dampak. Kalau kita mengetahui akarnya adalah disparitas, maka dihilangkan disparitas harga, kembali ke mekanisme pasar, semua perusahaan menyediakan minyak goreng dengan berbagai jenis dan tentunya mereka saling bersaing,” ujarnya.

Sedangkan minyak goreng curah yang dibutuhkan masyarakat kecil tetap diatur melalui HET. Dalam kondisi tersebut, Yeka menilai, pemerintah dapat melindungi kelompok rentan seperti masyarakat akar rumput atau pelaku UMKM yang membutuhkan minyak goreng.

Cara lain yang bisa diambil pemerintah yaitu melepas semua jenis minyak goreng pada mekanisme pasar dengan menghilangkan DPO, sementara DMO tetap diterapkan. Untuk golongan masyarakat kecil maupun UMKM pemerintah memberi subsidi bantuan langsung tunai (BLT).

“Kalau dilepas ke mekanisme pasar semua pelaku usaha akan mengisi ceruk usahanya masing-masing. Dalam waktu seminggu langsung tergelontorkan karena tidak ada ruang untuk spekulasi,” ungkapnya.