Satelit GOES West NOAA menangkap pemandangan menakjubkan dari letusan eksplosif gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai, yang terletak di Kerajaan Pasifik Selatan Tonga, pada 15 Januari 2022.
Tekno

Mirip Krakatau, Letusan Tonga Menyebabkan Atmosfer Berdering seperti Bel

  • Letusan Hunga Tonga-Hunga Ha'apai mencapai puncak ledakan pada 15 Januari 2022. Pelepasan energinya yang cepat memicu tsunami laut yang menyebabkan kerusakan hingga Pantai Barat Amerika.

Tekno

Amirudin Zuhri

JAKARTA-Letusan Hunga Tonga-Hunga Ha'apai mencapai puncak ledakan pada 15 Januari 2022. Pelepasan energinya yang cepat memicu tsunami laut yang menyebabkan kerusakan hingga Pantai Barat Amerika. Selain itu letusan juga menghasilkan gelombang tekanan di atmosfer yang dengan cepat menyebar ke seluruh dunia.

Pola gelombang atmosfer yang dekat dengan letusan cukup rumit, tetapi ribuan mil jauhnya itu muncul sebagai gelombang terisolasi yang berjalan secara horizontal dengan kecepatan lebih dari 650 mil per jam saat menyebar ke luar.

James Garvin dari NASA, kepala ilmuwan di Goddard Space Flight Center, mengatakan kepada NPR bahwa badan antariksa itu memperkirakan ledakan itu sekitar 10 megaton setara TNT. Ini sekitar 500 kali lebih kuat dari bom yang dijatuhkan di Hiroshima, Jepang dalam Perang Dunia II. Dari pengamatan satelit dengan sensor infra merah gelombang tampak seperti riak yang dihasilkan ketika kita menjatuhkan batu di kolam.

Tetapi letusan ini terhitung kecil dibanding letusan gunung berapi paling kuat di Bumi. Sebagai contoh para peneliti memperkirakan bahwa letusan Gunung St. Helens tahun 1980 meledak dengan energi 24 megaton. Sedangkan letusan Krakatau tahun 1883 mengeluarkan energi 200 megaton.

Denyut gelombang tercatat mengganggu tekanan atmosfer selama beberapa menit terutama saat bergerak di atas Amerika Utara, India, Eropa, dan banyak tempat lain di seluruh dunia. 

Sebagiamana ditulis LiveScience Senin 24 Januari 2021, letusan ini begitu kuat sehingga menyebabkan atmosfer berdering seperti lonceng, meskipun pada frekuensi yang terlalu rendah untuk didengar. Ini adalah fenomena yang pertama kali diteorikan lebih dari 200 tahun yang lalu.

Krakatau 1883

Gelombang tekanan pertama yang menarik perhatian ilmiah dihasilkan oleh letusan besar Gunung Krakatau di Indonesia pada tahun 1883.

Denyut gelombang Krakatau terdeteksi dalam pengamatan barometrik di seluruh dunia. Tentu saja komunikasi lebih lambat pada masa itu, tetapi dalam beberapa tahun kemudian para ilmuwan telah menggabungkan berbagai pengamatan individu dan mampu menggambarkan di peta dunia penyebaran tekanan dalam beberapa jam dan hari setelah letusan.

Bagian depan gelombang bergerak keluar dari Krakatau dan diamati melakukan setidaknya tiga perjalanan penuh di seluruh dunia. Royal Society of London menerbitkan serangkaian peta yang menggambarkan propagasi muka gelombang dalam laporan tahun 1888 yang terkenal tentang letusan.

Gelombang yang terlihat setelah Krakatau atau letusan Tonga baru-baru ini adalah gelombang suara berfrekuensi sangat rendah. Fenomena ini terjadi ketika perubahan tekanan lokal menghasilkan gaya pada udara di dekatnya dan kemudian berakselerasi menyebabkan ekspansi perubahan tekanan yang menyertainya. Pada gilirannya memaksa udara lebih jauh di sepanjang jalur gelombang.

Gambaran mudahnya  sebuah roket kembang api yang meledak akan mengirimkan suara ke telinga orang yang melihat di bawah. Tetapi gelombang tekanan global ini memiliki kekhasan yakni hanya menyebar secara horizontal dengan mengikuti kelengkungan Bumi.

Lebih dari 200 tahun yang lalu, matematikawan, fisikawan, dan astronom Prancis, Pierre-Simon de Laplace, meramalkan perilaku gelombang yang berdering seperti bel.

Dia meramalkan bahwa ada kelas gerakan di atmosfer yang menyebar dengan cepat tetapi mengikuti permukaan bumi. Laplace menunjukkan bahwa gaya gravitasi dan daya apung atmosfer mendukung gerakan udara horizontal, dan salah satu efeknya adalah memungkinkan beberapa gelombang atmosfer mengikuti lengkungan Bumi.

Letusan yang membuat atmosfer berdering seperti lonceng adalah salah satu manifestasi dari fenomena yang diteorikan Laplace. Fenomena yang sama juga hadir sebagai getaran global atmosfer.