Misteri Hilangnya Menlu China Qin Gang yang Dicopot Setelah 7 Bulan Menjabat
- Qin disebut mengalami kenaikan karier yang pesat yang sebagian disebabkan oleh kedekatannya dengan Xi Jinping.
Dunia
JAKARTA - Menteri Luar Negeri China, Qin Gang, dipecat dari jabatannya setelah tujuh bulan menjabat pada hari Selasa 25 Juli 2023 waktu setempat. Hal itu mengakhiri kebingungan cukup lama setelah menteri yang sebelumnya dianggap dekat dengan Presiden Xi Jinping tiba-tiba menghilang.
Qin, yang berusia 57 tahun, menjadi salah satu Menteri Luar Negeri termuda China setelah dilantik pada bulan Desember 2022. Sebelumnya dia menjabat sebentar sebagai duta besar AS. Qin disebut mengalami kenaikan karier yang pesat yang sebagian disebabkan oleh kedekatannya dengan Xi.
Lahir di kota utara Tianjin pada tahun 1966, Qin mengenyam pendidikan di bidang Ilmu Politik Internasional di salah satu sekolah bergengsi China, Universitas Hubungan Internasional di Beijing. Setelah lulus, Qin bergabung dengan dinas diplomatik, bekerja dalam beberapa posisi di kementerian luar negeri serta ditugaskan di Kedutaan Besar China di Britania Raya.
- Program U-Solar 2.0 UOB Dukung Rantai Nilai Industri Tenaga Surya di Indonesia
- Sah Jadi Bank Terbaik! Bank Mandiri Sabet Gelar Best Bank in Indonesia di 2023 versi Euromoney
- Pasar Tomohon Akhiri Penjualan Daging Anjing dan Kucing
Qin dua kali menjabat sebagai juru bicara kementerian luar negeri antara tahun 2006 dan 2014, serta menjadi kepala petugas protokol antara tahun 2014 dan 2018. Qin bertugas mengawasi banyak interaksi Xi dengan pemimpin asing.
Dilansir dari Reuters, Rabu 26 Juli 2023, ia menonjol sebagai juru bicara karena menjadi salah satu diplomat pertama yang berbicara secara agresif dalam membela kebijakan luar negeri China yang semakin tegas. Gaya tersebut kemudian dikenal sebagai diplomasi “wolf warrior.”
Namun demikian, ia juga menunjukkan kemauan untuk bekerja sama dengan Amerika Serikat. Hal itu terlihat ketika dia tiba di Washington sebagai duta besar pada bulan Juli 2021, setelah periode ketegangan publik yang tidak biasa antara pejabat AS dan China. Kehadiran Qin membuat hubungan tersebut memiliki “peluang dan potensi besar.”
Namun hubungan antara dua kekuatan besar ini tidak mengalami peningkatan yang mencolok selama masa jabatannya sebagai duta besar, maupun setelahnya. Kedua belah pihak sering berselisih mengenai isu-isu termasuk perdagangan, teknologi, hingga soal Taiwan.
Qin, yang menurut para analis kemungkinan ditunjuk sebagai menteri luar negeri untuk membantu menstabilkan hubungan dengan AS, mengadakan pertemuan selama lima jam lebih dengan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, pada bulan Juni. Pembicaraan kedua belah pihak tesebut dinilai jujur dan konstruktif.
Beberapa hari kemudian, pada tanggal 25 Juni, ia mengadakan pembicaraan dengan pejabat dari Sri Lanka, Rusia, dan Vietnam di Beijing. Namun kemudian dia mulai menghilang dari pantauan publik tanpa alasan yang jelas.
Dukung Gencatan Senjata di Ukraina
Kementeriannya mengatakan pada tanggal 11 Juli bahwa ia tidak dapat menghadiri pertemuan di Indonesia karena alasan Kesehatan yang tidak dijelaskan secara rinci. Kementerian menolak memberikan komentar lebih lanjut tentang statusnya, menciptakan kekosongan informasi di mana beredar rumor-rumor.
Wang, yang telah dipromosikan menjadi anggota politbiro Partai Komunis China, salah satu badan kepemimpinan tertinggi di China, menggantikannya selama ketidakhadirannya.
Qin diketahui berkunjung ke beberapa negara di Afrika pada bulan Januari dan di Eropa pada bulan Mei. Dia mendorong wacana China untuk mendorong gencatan senjata di Ukraina. Hal itu sulit diterima mengingat China telah dikritik karena tidak mengutuk invasi Rusia.
Setelah menjadi Menteri Luar Negeri, komentar Qin mengenai isu-isu sensitif seperti Taiwan dan hubungan China dengan Rusia tidak berbeda secara signifikan dari pendahulunya.
Dalam komentarnya pertama kali sebagai menteri luar negeri, Qin menyatakan bahwa dalam menyelesaikan tantangan yang umum bagi seluruh umat manusia, diplomasi China akan menawarkan “kebijaksanaan Tiongkok, inisiatif Tiongkok, dan kekuatan Tiongkok.”
Dalam sebuah esai yang dipublikasikan di majalah dua bulanan Amerika, National Interest, akhir tahun lalu, Qin memberikan gambaran tentang kebijakan luar negeri China dan menegaskan bahwa hubungan antara China dan AS bukanlah “zero sum game”, di mana satu pihak mendapatkan keuntungan dengan merugikan pihak lain.