Hakim Konstitusi sekaligus Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan (Foto: Tangkapan Layar Youtube MK)
Nasional

MK Tolak 5 Gugatan Soal UU Cipta Kerja, 4 Hakim Beda Pendapat

  • Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang diajukan sejumlah serikat pekerja.
Nasional
Khafidz Abdulah Budianto

Khafidz Abdulah Budianto

Author

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang diajukan sejumlah serikat pekerja. 

MK menyampaikan putusan lima perkara secara berturut-turut dari Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023, 40/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023, hingga 50/PUU-XXI/2023. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Hakim Konstitusi sekaligus Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, Senin 2 Oktober 2023.

Dalam petitumnya, perwakilan buruh menginginkan pembentukan UU No. 6 Tahun 2023 dinyatakan tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, MK menganggap dalil pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum.

Selanjutnya, MK menganggap dalil pemohon yang berkenaan soal tidak terpenuhinya syarat kegentingan dalam penetapan UU No. 6 Tahun 2023 dianggap tidak beralasan menurut hukum. 

MK juga menganggap dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum soal penetapan UU No. 6 Tahun 2023 dianggap tidak memenuhi syarat partisipasi masyarakat. Berdasarkan seluruh pertimbangan dalam putusan tersebut, MK berpendapat proses pembentukan UU No. 6 Tahun 2023 tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Sehingga, UU tersebut masih memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Mahkamah juga berpendapat jika seluruh dalil pemohon tidak beralasan hukum. Adapun lain-lain tidak dipertimbangkan sebab tidak ada relevansinya.

Dalam salah satu konklusinya. MK berkesimpulan bahwa pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untk seluruhnya. Oleh karenanya, amar putusan dalam perkara tersebut menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.

Terdapat sembilan hakim konstitusi yang memutus perkara tersebut dalam Rapat Permusyawaratan Hakim. Kesembilan hakim konstitusi tersebut yaitu Anwar Usman, Saldi Isra, M. Guntur Hamzah, Daniel Yusmic P. Foekh, Arief Hidayat, Manahan M.P. Situmpol, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams.

Putusan tersebut juga diwarnai adanya dissenting opinion atau perbedaan pendapat. Terdapat empat Hakim Konstitusi yang melakukan dissenting opinion yaitu Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Suhartoyo, dan Wahiduddin Adams.

MK dalam sidang tersebut juga turut memutuskan menolak permohonan lainnya soal uji formil UU Cipta Kerja. Keempat putusan lain itu tertuang dalam nomor 54/PUU-XXI/2023, 46/PUU-XXI/2023, 41/PUU-XXI/2023, dan 40/PUU-XXI/2023. 

Perkara Nomor 40 mengajukan uji formil dan materi UU Cipta Kerja sedangkan perkara Nomor 54, 41, 46, dan 50 hanya mengajukan uji formil atas UU tersebut. Secara umum, gugatan yang dimohonkan dalam perkara tersebut sama yaitu meminta pembentukan UU Nomor 6 Tahun 2023 dinyatakan tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU.

Rinciannya putusan perkara nomor 54 diajukan oleh 15 pemohon dari berbagai federasi serikat pekerja di Indonesia. Kemudian putusan perkara nomor 41 diajukan  dua orang dari Konferensi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). 

Mereka meminta MK menyatakan pemberlakuan kembali terhadap seluruh pasal-pasal dari seluruh UU yang diubah dan dihapus oleh UU Nomor 6 Tahun 2023. Selanjutnya gugatan diajukan oleh 14 orang yang terdiri dari kumpulan serikat, yayasan, perkumpulan, dan federasi pekerja yang putusannya tertuang dalam nomor 46/PUU-XXI/2023. 

Terakhir dalam putusan nomor 40, diketahui pemohon meminta meminta sejumlah pasal dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat melalui uji materi yang diajukannya. Namun, MK berpendapat uji formil dan uji materi tidak dapat digabung menjadi satu permohonan secara langsung.