<p>Ilustrasi peer to peer lending. / Akseleran.co.id</p>

Modal Inti Kredit Online Bakal Naik, Ini Respons AFPI dan Pelaku Fintech P2P Lending

  • JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan aturan baru terkait layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi alias fintech lending. Beberapa aturan akan disesuaikan untuk mendorong kemajuan industri jasa keuangan paling ‘bontot’ ini. Pertama, OJK melalui Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) berencana mengubah syarat minimum modal inti pendirian perusahaan teknologi finansial pembiayaan dari sebelumnya Rp2,5 miliar, […]

Drean Muhyil Ihsan

JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan aturan baru terkait layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi alias fintech lending. Beberapa aturan akan disesuaikan untuk mendorong kemajuan industri jasa keuangan paling ‘bontot’ ini.

Pertama, OJK melalui Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) berencana mengubah syarat minimum modal inti pendirian perusahaan teknologi finansial pembiayaan dari sebelumnya Rp2,5 miliar, menjadi Rp15 miliar.

Otoritas juga akan menerapkan pembatasan pemberian pendanaan oleh setiap pemberi dana dan afiliasi fintech lending, maksimal 25% dari outstanding tahunan dan beberapa aturan baru lain.

Terkait hal tersebut, CEO PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia (Akseleran), Ivan Tambunan bilang, sebagai salah satu pelaku fintech pembiayaan nasional, pihaknya menyambut baik adanya RPOJK itu.

Mengingat, kata dia, POJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi sudah berusia empat tahun dan dirasa perlu untuk diperbarui.

Meskipun begitu, pria yang juga menjabat Ketua Bidang Hukum, Etika dan Perlindungan Konsumen Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) ini menilai, RPOJK tersebut haruslah tetap seimbang.

“Dan juga memberikan ruang agar platform fintech lending bisa selalu berinovasi dan mendorong pertumbuhan inklusi keuangan di Indonesia,” ujarnya kepada TrenAsia.com, Rabu 2 Desember 2020.

Pandangan Akseleran

Ivan juga menyetujui adanya peningkatan setoran modal menjadi Rp15 miliar. Menurutnya, hal ini agar perusahaan fintech lending yang ada saat ini menjadi sehat dan kuat secara finansial.

Kendati demikian, baginya persyaratan ini perlu dilakukan secara bertahap. Sebab, banyak perusahaan yang mungkin merasa berat bila langsung menyetorkan modal inti senilai Rp15 miliar. Terutama bagi pelaku fintech lending yang baru mulai.

“Di draf (RPOJK) sebesar Rp15 miliar, kalau Akseleran ‘OK’ karena kami sudah jauh di atas itu. Tapi untuk players lainnya, terutama yang baru mulai, mungkin akan berat kalau langsung sebesar Rp15 miliar,” tuturnya.

Ivan tampaknya kurang sepakat dengan wacana batasan pemberian pendanaan oleh setiap pemberi dana dan afiliasi fintech lending maksimal 25%. Ia berharap batasan tersebut berada di 50% sekaligus meminta pengecualian apabila pemberi pinjamannya berasal dari lembaga keuangan.

Ia juga mengkritisi soal syarat sebaran penerima pinjaman fintech lending di luar Pulau Jawa. Menurutnya perlu ada kejelasan untuk sebaran penerima pinjaman di luar Jawa. Terutama, apakah mengatur soal domisili peminjam (borrower), atau lokasi proyek yang dibiayai.

“Untuk luar Jawa, kalau lihatnya berdasarkan domisili penerima pinjaman maka kami sekitar 5 persen saja yang di luar Jawa. Tapi kalau dilihat dari project yang dibiayai, kami bisa 20 persen lebih di luar Jawa,” pungkasnya. (SKO)