Moody’s: Merger BRIS-BNIS-BSM Berdampak Positif, Tapi…
Lembaga pemeringkat internasional itu menilai bahwa penggabungan antara PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), dengan PT Bank Mandiri Syariah (BSM) dan PT BNI Syariah (BNIS) bakal memberi imbas baik bagi bisnis syariah di Tanah Air.
Industri
JAKARTA – Moody’s Investors Service akhirnya ikut angkat bicara soal merger tiga bank umum syariah (BUS) Indonesia. Lembaga pemeringkat internasional itu menilai bahwa penggabungan antara PT Bank BRI Syariah Tbk (BRIS), dengan PT Bank Mandiri Syariah (BSM) dan PT BNI Syariah (BNIS) bakal memberi imbas baik bagi bisnis syariah di Tanah Air.
“Karena telah menciptakan entitas syariah dengan waralaba besar yang secara signifikan bakal mendorong efisiensi dan daya saing sektor tersebut,” terang Tim Analis Moody’s dalam riset yang dirilis pada Selasa, 20 Oktober 2020.
Moody’s memprediksi, penggabungan aset ketiga perbankan tersebut bakal menjadikan merger bank syariah ini sebagai bank terbesar ke-7 di Indonesia berdasarkan kepemilikan aset. Asumsinya, aset ketiga perbankan itu setara 2% dari keseluruhan aset perbankan di Indonesia. Setara 40% aset dari seluruh perbankan syariah di Indonesia per 30 Juni 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Dengan semakin besarnya aset tersebut, Bank BRI Syariah sebagai surviving entity pun bakal punya kesempatan yang lebih luas untuk diversifikasi sumber pembiayaan. Ini membuat Bank BRI Syariah punya kesempatan untuk kembali mengatur ulang manajemen risikonya.
Perlu diingat, sambung Moody’s, pembiayaan dari korporasi besar umumnya memiliki risiko yang jauh lebih kecil.
“Bank juga akan memiliki peluang lebih besar untuk mengakses pasar sukuk global dengan keberadaannya yang lebih besar,” terang Moody’s.
Penetrasi Lamban
Kendati demikian, Moody’s mengakui bahwa perbankan syariah Indonesia masih kalah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Bangladesh, Brunei dan Malaysia. Berdasarkan catatan Moody’s per 31 Juli 2020, aset sektor syariah hanya menyumbang sebanyak 6% dari total aset perbankan secara keseluruhan.
Selain itu, penetrasi perbankan syariah di Indonesia kepada calon konsumen juga masih terlalu lamban. Hal itu terjadi lantaran banyaknya bank-bank syariah yang bergerak secara individual kendatipun skala mereka masih teramat kecil.
“Mereka juga kekurangan skala ekonomi yang dinikmati rekan-rekan konvensional mereka,” lanjut Moody’s.
Sebab itu, Tim Analis Moody’s pun menilai bahwa bisnis bank syariah di Indonesia masih kurang menguntungkan dibandingkan dengan bank-bank konvensional. Dari sisi pembiayaan, bank syariah kurang efisien lantaran terlalu bergantung pada instrumen deposito yang notabene lebih mahal dari pendanaan lainnya.
“Sementara itu, kualitas aset mereka telah membaik dalam beberapa tahun terakhir, meskipun pandemi virus corona kemungkinan akan mengganggu tren yang membaik,” pungkas riset tersebut. (SKO)