Muhammadiyah Kritik PPN 12 Persen, Dinilai Gencet UMKM
- Ghufron menilai kenaikan PPN menjadi 12% sebagai langkah yang kontraproduktif di tengah pemulihan ekonomi yang masih rapuh. Banyak UMKM saat ini menghadapi tantangan besar untuk bertahan, termasuk penurunan pendapatan, pengurangan tenaga kerja, hingga ancaman kebangkrutan.
Nasional
JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk dari Sekretaris Jenderal Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU), Ghufron Mustaqim.
Ia menilai kebijakan tersebut tidak sejalan dengan kondisi ekonomi saat ini dan dapat memberikan dampak buruk bagi daya beli masyarakat, terutama bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Ghufron menilai kenaikan PPN menjadi 12% sebagai langkah yang kontraproduktif di tengah pemulihan ekonomi yang masih rapuh. Banyak UMKM saat ini menghadapi tantangan besar untuk bertahan, termasuk penurunan pendapatan, pengurangan tenaga kerja, hingga ancaman kebangkrutan.
Menurut Ghufron kebijakan menaikkan PPN justru akan memperburuk keadaan ekonomi saat ini. Ia yakin kebijakan ini akan menambah beban pelaku usaha dan berpotensi menghambat perekonomian.
"Kenaikan PPN tersebut tidak sensitif terhadap dinamika dunia usaha saat ini dan malah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah kenaikan angka pengangguran," terang Ghufron, di Jakarta, Jumat, 15 November 2024.
Ghufron memperingatkan bahwa kenaikan tarif PPN dapat meningkatkan biaya operasional usaha dan memperparah tekanan terhadap UMKM, sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Ia menyebut bahwa dinamika dunia usaha saat ini membutuhkan kebijakan yang proaktif dan sensitif terhadap kondisi pasar.
- Tumbuh Sehat, DPK Seabank Melesat 22 Persen di Kuartal III 2024
- Menilik Komposisi Utang Luar Negeri RI di Kuartal III 2024
- Dugaan TPPU, PPATK Blokir Rekening Pengusaha Surabaya Ivan Sugianto
Indonesia Punya PPN Tertinggi di ASEAN
Jika tarif PPN dinaikkan menjadi 12%, Indonesia berpotensi memiliki PPN tertinggi di kawasan ASEAN. Saat ini, tarif PPN di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand masing-masing berada di angka 6%, 7%, dan 7%.
Perbandingan ini menunjukkan, pemerintah perlu mempertimbangkan daya saing regional. Sebagai alternatif, SUMU mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan penurunan tarif PPN menjadi 10% atau bahkan secara bertahap diturunkan menjadi 6–7% seperti negara-negara tetangga. Kebijakan ini dinilai dapat memberikan ruang bagi konsumsi masyarakat untuk pulih dan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.
"Di Vietnam, Kamboja, dan Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia seharusnya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara bertahap turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat," tambah Ghufron.
- Tumbuh Sehat, DPK Seabank Melesat 22 Persen di Kuartal III 2024
- Menilik Komposisi Utang Luar Negeri RI di Kuartal III 2024
- Dugaan TPPU, PPATK Blokir Rekening Pengusaha Surabaya Ivan Sugianto
Penurunan tarif PPN dapat menjadi stimulus yang efektif untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan konsumsi yang kuat, UMKM akan kembali bergerak, dan pada akhirnya perekonomian nasional dapat pulih lebih cepat.
SUMU berharap pemerintah mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kenaikan tarif PPN terhadap pelaku usaha dan masyarakat. Kebijakan perpajakan yang adil dan sensitif terhadap kondisi ekonomi dinilai lebih penting dibandingkan sekadar mengejar penerimaan negara.
Rencana kenaikan PPN ini tentu akan menjadi isu yang terus diawasi oleh pelaku usaha dan masyarakat menjelang tahun 2025. Keputusan pemerintah dalam merespons kritik ini akan menentukan arah perekonomian Indonesia ke depan.