Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada acara Groundbreaking (peletakan batu pertama) Kampus II Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Rabu 3 Januari 2024.
Nasional

Muhammadiyah Minta Jokowi Cabut Pernyataan Presiden Boleh Berpihak

  • MHH mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang dianggap merugikan ketidaknetralan institusi kepresidenan, khususnya terkait izin bagi presiden untuk berkampanye.
Nasional
Muhammad Imam Hatami

Muhammad Imam Hatami

Author

JAKARTA - Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Pusat Muhammadiyah merespons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait peran presiden yang diperbolehkan berkampanye dan berpihak sesuai dengan peraturan perundang undangan. 

Dalam keterangan resmi yang ditandatangani Ketua MHH Muhammadiyah, Trisno Raharjo, dan Sekretaris Muhammad Alfian, MHH menegaskan presiden memikul tanggung jawab moral dan hukum yang besar dalam segala aspek kehidupan bernegara. MHH menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap norma hukum dan etika dalam pemerintahan, khususnya terkait peran presiden. 

“MHH mendesak Presiden Joko Widodo mencabut semua pernyataannya yang dianggap merugikan ketidaknetralan institusi kepresidenan, khususnya terkait izin bagi presiden untuk berkampanye. Pernyataan ini menjadi sorotan karena menyoroti prinsip-prinsip moral dan hukum yang seharusnya dijunjung tinggi oleh kepala negara,” ujar MHH dalam keterangan resmi, Senin, 29 Januari 2024.

MHH Pimpinan Pusat Muhammadiyah menggambarkan kekhawatiran yang mendalam terkait kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merugikan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan keadilan. 

MHH menegaskan bahwa presiden, sebagai pemimpin negara, tidak hanya memiliki tanggung jawab politik tetapi juga etika yang tinggi. “MHH menekankan pentingnya sikap adil dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku, termasuk dalam konteks aktivitas kampanye politik,” lanjut MHH. 

Sebagai pemimpin negara, presiden diharapkan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, memberikan contoh integritas, dan melindungi prinsip-prinsip keadilan dalam setiap tindakan yang dilakukannya. 

“Keterlibatan presiden dalam kampanye politik harus mematuhi norma hukum dan etika yang mengatur proses demokrasi, menjauh dari potensi penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu,” ujar MHH. 

MHH menganggap bahwa presiden memiliki kewajiban yang sangat penting dalam memastikan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. Hal ini, menurut MHH, memiliki dampak langsung terhadap pemilihan penggantinya, yang diharapkan juga dapat menjadi sosok yang berintegritas. 

Pernyataan Jokowi yang memungkinkan presiden untuk berkampanye, menurut MHH, dikhawatirkan dapat merusak netralitas institusi kepresidenan. 

Dalam penilaian lebih lanjut, MHH menegaskan bahwa secara filosofis, posisi presiden adalah sebagai pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan seharusnya bersikap netral, berdiri di atas segala kepentingan kelompok dan untuk kepentingan seluruh rakyat. Oleh karena itu, aktivitas kampanye oleh presiden, bahkan saat cuti, dianggap tidak tepat.

“Tindakan tersebut dapat menciptakan ketidaksetaraan dalam arena politik, dengan presiden yang seharusnya menjadi pemimpin bagi seluruh rakyat, terlibat secara langsung dalam mendukung kandidat tertentu. Hal ini dapat merusak citra kepresidenan sebagai institusi yang netral dan adil, serta menggoyahkan kepercayaan publik terhadap integritas proses demokratis,” pungkas MHH.