Ilustrasi perusahaan pembiayaan atau multifinance.
IKNB

Mulai dari Likuiditas hingga SDM, Inilah Faktor-faktor Penghambat Industri LKM

  • Untuk mengatasi tantangan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis Roadmap Pengembangan dan Penguatan Lembaga Keuangan Mikro 2024-2028. Roadmap tersebut menyoroti berbagai faktor internal yang dapat menjadi penghambat untuk perkembangan industri LKM.

IKNB

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Industri Lembaga Keuangan Mikro (LKM) memainkan peran penting dalam mendorong inklusi keuangan, khususnya di wilayah pedesaan dan komunitas dengan akses terbatas ke layanan perbankan.  

Namun, di tengah potensi besar yang dimilikinya, LKM menghadapi berbagai tantangan yang dapat menghambat pertumbuhannya. Mulai dari keterbatasan permodalan, penerapan tata kelola perusahaan yang lemah, hingga rendahnya kualitas sumber daya manusia, semua faktor ini memengaruhi kinerja dan keberlanjutan LKM. 

Selain itu, tingginya rasio pinjaman bermasalah (NPL/NPF), terbatasnya likuiditas, dan rendahnya mobilisasi simpanan masyarakat menjadi masalah yang perlu segera diatasi untuk memperkuat kontribusi LKM dalam mendukung perekonomian lokal.

Untuk mengatasi tantangan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah merilis Roadmap Pengembangan dan Penguatan Lembaga Keuangan Mikro 2024-2028. Roadmap tersebut menyoroti berbagai faktor internal yang dapat menjadi penghambat untuk perkembangan industri LKM.

Masalah Kunci: Keterbatasan Permodalan

Permodalan menjadi salah satu hambatan utama yang dihadapi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia. Berdasarkan ketentuan yang ada, modal minimum yang harus dimiliki LKM bervariasi sesuai dengan cakupan wilayah operasionalnya, mulai dari Rp300 juta untuk wilayah desa/kelurahan hingga Rp1 miliar untuk wilayah kabupaten/kota. 

Di samping itu, LKM diwajibkan menjaga rasio modal minimum sebesar 75% dari modal disetor. Namun, hingga akhir Desember 2023, terdapat 26 LKM yang belum memenuhi persyaratan ini.

Proses penambahan modal sering kali menemui hambatan, terutama bagi LKM berbadan hukum Perseroan Terbatas yang mayoritas sahamnya dimiliki pemerintah daerah. 

Penambahan modal memerlukan persetujuan legislatif, sehingga prosesnya memakan waktu. Hal serupa terjadi pada LKM berbadan hukum koperasi, di mana keputusan terkait penambahan modal harus melibatkan seluruh anggota koperasi.

Selain modal internal, pendanaan dari simpanan masyarakat dan pinjaman pihak ketiga belum optimal. Ketiadaan lembaga penjamin simpanan khusus LKM menjadi salah satu penyebab rendahnya kepercayaan masyarakat untuk menabung di LKM. 

Akibatnya, keterbatasan modal menghambat ekspansi usaha, pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta peningkatan infrastruktur dan teknologi informasi.

Tata Kelola yang Masih Lemah 

Implementasi tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) di LKM masih menghadapi banyak tantangan. Beberapa kelemahan yang ditemukan meliputi:

  1. Ketiadaan fungsi pengendalian internal (SPI) atau audit internal di sebagian LKM.
  2. Pegawai yang merangkap jabatan karena keterbatasan sumber daya.
  3. Ketidaksesuaian jumlah direksi dan komisaris dengan ketentuan.
  4. Mekanisme penanganan kredit bermasalah yang belum memadai.

Keterbatasan tata kelola sering kali disebabkan oleh kurangnya kompetensi SDM, anggaran yang terbatas, dan struktur organisasi yang sederhana. 

Selain itu, manajemen risiko, yang menjadi salah satu elemen penting dalam pengelolaan lembaga keuangan, masih belum diterapkan secara optimal di banyak LKM. Risiko kredit yang tinggi, infrastruktur operasional yang minim, dan persaingan tingkat suku bunga menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan LKM.

Kualitas SDM 

SDM menjadi pilar utama dalam operasional LKM, terutama karena penggunaan teknologi masih terbatas. Namun, kualitas SDM di banyak LKM masih memerlukan peningkatan. Banyak pengurus LKM hanya bekerja paruh waktu, menjadikan pekerjaan ini sebagai sampingan. Rendahnya kemampuan finansial LKM juga menyulitkan perekrutan pegawai berkualifikasi tinggi atau pengadaan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi.

Kondisi ini berdampak pada rendahnya kualitas layanan kepada nasabah, lemahnya analisis risiko, hingga potensi tingkat turnover pegawai yang tinggi. Investasi pada teknologi untuk menggantikan ketergantungan pada tenaga manusia pun sulit dilakukan karena keterbatasan anggaran.

Rasio NPF/NPL yang Tinggi 

Rasio pinjaman bermasalah (NPL/NPF) di industri LKM terbilang cukup tinggi, dengan rata-rata 21,40% untuk LKM konvensional dan 13,09% untuk LKM syariah per Desember 2023. Angka ini jauh di atas rata-rata NPL bruto perbankan yang hanya 2,19%. 

Tingginya NPL/NPF disebabkan oleh sifat pasar kredit mikro yang cenderung berisiko tinggi, keterbatasan data untuk analisis kredit, serta rendahnya kemampuan monitoring dan mitigasi risiko oleh pengurus LKM.

Likuiditas dan Mobilisasi Simpanan yang Terbatas

LKM sering menghadapi masalah kekurangan likuiditas, terutama pada periode musiman seperti tahun ajaran baru atau hari raya. Ketergantungan pada pendanaan pihak ketiga juga tinggi, sementara simpanan masyarakat sebagai sumber dana utama masih rendah. 

Per akhir Desember 2023, total simpanan LKM hanya mencapai Rp569,63 miliar, jauh tertinggal dibandingkan total pembiayaan sebesar Rp1.007,73 miliar.

Ketiadaan lembaga penjamin simpanan untuk LKM menjadi salah satu alasan utama rendahnya minat masyarakat untuk menabung di LKM. Selain itu, karakteristik nasabah LKM yang berasal dari kelompok berpenghasilan rendah dengan kecenderungan menabung yang kecil turut memengaruhi tingkat simpanan.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Hambatan-hambatan yang dihadapi LKM mencakup berbagai aspek, mulai dari keterbatasan modal, kelemahan tata kelola, kualitas SDM yang kurang memadai, tingginya risiko kredit, hingga masalah likuiditas. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah strategis seperti:

  1. Penguatan Modal: Pemerintah dapat mempermudah proses penambahan modal melalui kebijakan yang mendukung.
  2. Peningkatan Tata Kelola: Memberikan pelatihan tata kelola dan manajemen risiko kepada pengurus LKM.
  3. Investasi SDM: Mewajibkan sertifikasi bagi pihak utama LKM dan menyediakan program pelatihan reguler.
  4. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan: Memberikan jaminan bagi dana nasabah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
  5. Digitalisasi LKM: Mendorong adopsi teknologi untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketergantungan pada tenaga manusia.