Multitafsir UU Jadi Biang Kerok Sengketa Pajak PGN-DJP
JAKARTA – Peneliti Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi memaparkan pemicu sengketa pajak antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah masalah sudut pandang penafsiran aturan di Undang-Undang (UU) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) alias UU No. 42/2009. Menurut Prianto, multitafsir terjadi pada pemahaman terhadap Pasal 4A ayat (2) huruf a […]
Nasional
JAKARTA – Peneliti Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi memaparkan pemicu sengketa pajak antara PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah masalah sudut pandang penafsiran aturan di Undang-Undang (UU) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) alias UU No. 42/2009.
Menurut Prianto, multitafsir terjadi pada pemahaman terhadap Pasal 4A ayat (2) huruf a UU PPN. Dalam kasus ini, salah satu isu terbesarnya adalah DJP menetapkan penjualan gas bumi oleh PGN sebagai objek PPN.
“Sehingga PGN seharusnya pungut PPN. Namun, PGN beranggapan gas bumi yang PGN juga itu bukan objek PPN,” kata Prianto dalam webinar, Rabu, 13 Januari 2021.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Adapun, dasar hukum yang digunakan oleh PGN, DJP, dan Mahkamah Agung (MA) selaku peradilan yang saat ini menangani kasus ini adalah sama-sama merujuk pada Pasal 4 ayat (2) UU PPN beserta penjelasannya.
Ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU PPN menyatakan, “Pasal 4 (2) Jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.”
Dari pasal di atas, ada satu frasa yang memunculkan titik multitafsir (ambiguitas) pertama, yaitu “…yang diambil langsung dari sumbernya.”
Dua titik multitafsir lainnya juga terdapat di penjelasan dari pasal tersebut. Adapun, penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf a UU PPN di atas di antaranya menyatakan:
“Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi: b. gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat.”
Berdasarkan uraian penjelasan pasal di atas, ada dua titik multitafsir, yaitu frasa “…termasuk gas bumi seperti elpiji…”; dan frasa “…yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat…”
Dengan demikian, Prianto menyimpulkan bahwa konflik ini terjadi karena perbedaan pandangan hukum, akuntansi, dan ekonomi di dalam mengimplementasikan kerangka pemikiran.
“Di antaranya mengenai konsepsi pemikiran hukum tentang perpajakan,” tambahnya.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- Tandingi Telkomsel dan Indosat, Smartfren Segera Luncurkan Jaringan 5G
- Bangga! 4,8 Ton Produk Tempe Olahan UKM Indonesia Dinikmati Masyarakat Jepang
Hingga kini, kasus ini pun masih terus bergulir sekalipun PGN telah memenangkan gugatan di Pengadilan Pajak pada 2018. Namun, pada 2019, DJP mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas sengketa pajak itu kepada MA.
Hasilnya, MA mengabulkan pengajuan PK tersebut dan menetapkan PGN sebagai pihak yang bersengketa dengan utang pajak Rp3,06 triliun. Di lain sisi, Sekretaris Perusahaan PGN Rachmat Hutama menyatakan siap menempuh jalur hukum atas sengketa pajak perseroan dengan DJP.
Menanggapi hal ini, Prianto menganggap proses hukum ini adalah wajar dan legal menurut peraturan perundang-undangan.
“Jadi memang putusan tertinggi ada di MA. Kalau tidak puas dengan putusan di bawahnya bisa mengajukan PK ke MA, dan itu boleh,” tukas Prianto. (SKO)