<p>Calon pembeli mencoba pakaian di salah satu kios pedagang pakaian bekas atau import di Pasar Senen Blok III, Jakarta, Jum&#8217;at 12 Juni 2020. Pasar yang tetap buka selama pemberlakuan PSBB dengan pembatasan jam operasional dari pukul 10.00 &#8211; 14.00 setiap harinya ini akan dibuka normal kembali pada Senin 15 Juni 2020 mendatang dengan aturan protokol kesehatan Covid-19. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Gaya Hidup

Musim Gugur Bisnis Awul-awul

  • Upaya masif pemerintah untuk menghentikan thrifting produk impor tak lepas meningkatnya intensitas bisnis itu beberapa tahun terakhir.
Gaya Hidup
Chrisna Chanis Cara

Chrisna Chanis Cara

Author

JAKARTA—Pernyataan Presiden Joko Widodo belum lama ini bak petir di siang bolong bagi pegiat thrifting (jual beli pakaian/barang bekas). Bagaimana tidak, Jokowi berencana “membasmi” bisnis thrifting yang mengimpor pakaian atau produk fesyen lain dari luar negeri. Presiden melihat tren thrifting semakin menekan industri tekstil dalam negeri. “Yang namanya impor pakaian bekas, mengganggu, Sangat mengganggu,” ujar Jokowi dalam pernyataannya, Kamis 16 Maret 2023.

Pemerintah memang mulai gerah dengan bisnis pakaian bekas yang semakin diminati masyarakat, terutama anak muda. Sebelum Jokowi, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, telah menyebut banjirnya produk thrifting luar negeri akan menggerus produk lokal. Jika tidak segera dihentikan, Teten mengatakan bisnis yang masuk dari pasar gelap itu bisa berdampak pada industri tekstil lokal dan UMKM tekstil. “Argumen kami untuk menolak masuknya produk bekas impor sangat kuat,” ujarnya. 

Genderang perang yang ditabuh Jokowi langsung direspons para pembantunya di kabinet. Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, berencana menindak pusat-pusat penjualan baju bekas impor di sejumlah wilayah seperti Pasar Senen. Selain itu, pihaknya berencana menutup jalur-jalur tikus yang selama ini menjadi pintu masuk produk thrifting luar negeri. Mendag menyebut jual-beli baju bekas impor tak hanya mengancam industri lokal, tapi juga membawa isu kesehatan. 

Tak cukup sampai di sana, pemerintah mendesak platform media sosial memblokir konten yang mempromosikan penjualan baju bekas impor. Sederet upaya untuk menekan bisnis thrifting impor itu mendapat payung hukum yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 40/2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Aturan ini dipertegas lewat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. 

Pada Pasal 2 Ayat 3 butir d regulasi tersebut tertulis dengan jelas, barang dilarang impor berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. 

Bisa dibilang, beleid itu menandakan musim gugur bisnis awul-awul  telah tiba. Bulan madu para pegiat thrift telah usai seiring pemerintah akan memenuhi janjinya untuk menindak tegas impor pakaian bekas. 

Memang bisnis thrifting tidak sepenuhnya dilarang di Indonesia asalkan pakaian bekas yang dijual adalah produk dalam negeri, bukan produk impor. Namun perlu diingat, faktanyaroda thrifting dalam negeri juga saat ini masih sangat bergantung pada pasokan baju dari Singapura, Jepang, China hingga Amerika Serikat. 

Impor Meningkat

Upaya masif pemerintah untuk menghentikan thrifting produk impor tak lepas meningkatnya intensitas bisnis itu beberapa tahun terakhir. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor barang tekstil sudah jadi lainnya, pakaian bekas dan barang tekstik bekas, gombal atau kain tua (HS 63) terus menanjak sejak 2017 hingga 2021. Pada 2017, impor HS 63 tercatat sebesar US$114,9 juta atau setara Rp1,6 triliun. Tahun 2021, nilai tersebut melonjak tiga kali lipat menjadi US$328,2 juta atau sekitar Rp4,7 triliun.  

Sempat redup saat pandemi Covid-19 menyerang pada tahun 2020, bisnis thrifting mulai melesat signifikan sejak akhir 2021. Bisnis thrifting produk impor menjadi sarana banyak kalangan untuk bangkit berusaha setelah dihantam pandemi. Sejumlah kota besar banyak menggelar festival atau pameran thrift yang diisi mayoritas jenama (merek) dari luar negeri. Solo menjadi salah satu kota yang “ramah” dengan bisnis awul-awul impor. Istilah awul-awul merujuk pada pakaian bekas yang ditumpuk secara tidak beraturan. 

Salah satu festival thrifting yang terkenal di Kota Bengawan, Nglapak Day, bahkan sudah delapan kali menggelar acara medio Juni 2020 hingga Maret 2023. Artinya, setiap tahun mereka mampu menggelar dua hingga tiga pameran thrifting akbar. Hal itu tak lepas dari tingginya minat warga terhadap barang thrift yang dinilai berkualitas baik, unik, dan berharga murah. Omzet sebuah toko thrift pada Nglapak Day Season 4 pada Desember 2021 lalu bahkan mencapai Rp20 jutaan per hari.  

Fenomena itu pun mengusik sejumlah pengusaha UMKM pakaian di Solo. Seorang pengusaha batik lokal, NR Kurnia Sari, mengatakan Indonesia sudah memiliki sejumlah aturan untuk melarang impor pakaian bekas. Dia berharap pemerintah konsisten menerapkan aturan itu untuk melindungi industri tekstil lokal termasuk batik. “Saya tidak anti dengan bisnis thrifting. Yang saya tolak adalah thrifting yang mendatangkan baju bekas dari luar negeri. Dampaknya tak cuma ke UMKM, tapi juga kesehatan dan lingkungan,” ujarnya.

Bentuk Perlawanan

Sejarah thrifting sendiri sejatinya lekat dengan perlawanan atas industri fast fashion yang dinilai mengancam lingkungan. Dikutip dari Thrift World, revolusi industri pada abad ke-19 membentuk suatu budaya yakni produksi massal yang membuat pakaian menjadi sangat murah. Orang dengan mudah membuat dan kemudian membuangnya jika sudah tidak cocok atau tidak sesuai dengan musim. 

Di Inggris, tren pakaian bekas menggejala sejak tahun 1980-an. Adapun Amerika Serikat telah menetapkan 17 Agustus sebagai National Thrift Store Day. Pada hari itu, toko-toko akan memberikan diskon besar-besaran pada pelanggan. Budaya thrifting yang murni bisa disebut sebagai penyeimbang Industri fast fashion. 

BPS mencatat ada peningkatan 4,45% per tahun dalam produksi industri fesyen manufaktur besar. Hal ini membuat industri fesyen (fast fashion) menjadi penyumbang 10% gas rumah kaca yang timbul dari rantai pasok panjang dan penggunaan energi dalam produksi yang intensif.

Salah satu pegiat thrift asal Solo, Sindu, tak sepakat apabila bisnis thrifting dibenturkan dengan bisnis UMKM lokal. Menurutnya, kedua usaha itu memiliki pasar tersendiri sehingga tidak merugikan satu sama lain. Sindu mengatakan bisnis pakaian bekas tak sekadar mencari jenama (merek) besar, tapi juga tentang kebutuhan sandang. “Ketika ada pilihan untuk lebih hemat (dalam membeli pakaian), kenapa tidak. Sisanya bisa buat makan dan pendidikan,” ujar penggagas Nglapak Day itu.