Naik 5 Kali Lipat, Arcandra Tahar Prediksi Penggunaan Nikel untuk Baterai Jadi 1,7 Juta Ton pada 2030
- JAKARTA – Penggunaan nikel untuk bahan baku baterai diperkirakan naik lima kali lipat menjadi 1,7 juta ton pada 2030. Seperti diketahui, pada tahun lalu penggun
Tekno
JAKARTA – Penggunaan nikel untuk bahan baku baterai diperkirakan naik lima kali lipat menjadi 1,7 juta ton pada 2030. Seperti diketahui, pada tahun lalu penggunaan nikel untuk produk ini baru sebesar 0,2 juta ton.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2016-2019 Arcandra Tahar mengungkapkan, pertumbuhan rata-rata penggunaan nikel untuk baterai cukup cepat, yakni 20-30% selama lima tahun terakhir.
Meskipun demikian, Arcandra bilang proses pengolahannya membutuhkan tahapan yang panjang. “Hal ini karena nikel harus ditambang dulu,” ujarnya dalam sebuah diskusi daring, Jumat, 23 Juli 2021.
- BFI Finance Raup Laba Bersih Rp487,42 Miliar, Naik 46,8 Persen pada Semester I-2021
- Diserbu E-Commerce dan Logistik, Tingkat Sewa Pergudangan Jabodetabek Capai 91 Persen
- Waspada! Inilah Gejala yang Diakibatkan Infeksi Jamur Hitam
Di sisi lain, nikel juga memiliki dua lapisan, yakni atas dan bawah. Pada lapisan atas, nikel memiliki kadar lebih rendah dibandingkan dengan lapisan bawah. Adapun nikel yang berada di lapisan bawah memiliki cobalt yang bisa diolah sebagai katoda untuk baterai.
Lantas setelah dilakukan penambangan, nikel tersebut juga tidak dapat langsung diolah menjadi baterai. Tahapan berikutnya, yakni membangun intermediate smelter.
“Proses ini menggunakan teknologi tinggi,” ujarnya.
Selanjutnya, nikel sulfate dan cobalt sulfate baru dijadikan katoda untuk masuk ke dalam baterai. Kemudian, baterai yang terbentuk digunakan untuk electric vehicle (EV).
Pengolahan nikel sendiri memiliki beberapa tantangan. Menurut Arcandra, hidrometalurgi yang menjadi teknologi ini bergantung dari komplikasinya core smelter yang diolah.
Kedua, teknologi ini menggunakan banyak chemical. Apabila menggunakan metode high pressure, material plan ini harus membutuhkan biaya besar.
“Tingkat keberhasilannya juga sangat rendah karena high capex dan opex,” ujarnya. Terakhir, asam sulfat hasil dari pemrosesan tersebut harus dimanfaatkan secara bijak.