Nasib Buram Koperasi Usai Revisi UU Gagal Dieksekusi
- Rencana revisi Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian kembali terkatung-katung. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dipastikan batal mengeksekusi revisi beleid yang sudah ketinggalan zaman tersebut.
IKNB
JAKARTA—Rencana revisi Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian kembali terkatung-katung. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dipastikan batal mengeksekusi revisi beleid yang sudah ketinggalan zaman tersebut.
Waktu yang sempit menjadi alasan penundaan revisi UU Koperasi. Pemerintahan selanjutnya yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto didorong untuk menyelesaikan rancangan aturan tersebut.
“Nggak mungkin (selesai tahun ini). Waktunya sudah sangat pendek,” ujar Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, usai rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Senin, 10 Juni 2024.
Rencana revisi UU Koperasi diketahui sudah lama digagas pemerintah. Hal itu tidak lepas dari kebutuhan soal aturan perkoperasian yang sesuai kebutuhan zaman. Sebelumnya, pemerintah sempat merevisi lewat UU UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Namun UU itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi sehingga dikembalikan ke UU No. 25 Tahun 1992.
Revisi UU Koperasi kali ini setidaknya akan membahas soal pembentukan Otoritas Pengawas Koperasi, skema penjaminan nasabah koperasi, dan pembentukan semacam induk usaha atau koperasi sekunder untuk membagi beban keuangan koperasi.
Teten menegaskan sulit baginya menyelesaikan RUU tersebut mengingat masa jabatannya yang akan berakhir pada Oktober 2024. Dia mendorong pemerintahan Prabowo dapat melanjutkan tongkat estafet mengingat Jokowi telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke Ketua DPR. “Biar dilanjutkan pemerintahan yang akan datang,” ujar Teten yang sebelumnya berharap revisi selesai di akhir jabatannya.
Zona Nyaman
Selain keterbatasan waktu, Teten mengklaim Revisi UU Perkoperasian cenderung lambat karena banyak koperasi yang sudah telanjur berada di zona nyaman. Teten menuturkan saat ini perlu ada perubahan dalam bisnis koperasi.
Ini lantaran pertumbuhan model bisnis di sektor keuangan kian berkembang pesat. Jika koperasi tidak berubah, pihaknya khawatir model bisnis baru bakal menggerus eksistensi koperasi. “Standar koperasi harus apple to apple dengan korporasi,” kata dia.
Di samping pengembangan bisnis, revisi UU Perkoperasian dinilai penting untuk mengantisipasi penipuan dengan kedok koperasi. Salah satunya yakni fungsi pengawasan dari pihak eksternal untuk membantu pemerintah.
Baca Juga: Kontribusi Koperasi pada Perekonomian Nasional Terus Menurun
Sayangnya, Teten menyebut tak sedikit koperasi yang menolak pengawasan dari pihak eksternal karena dinilai sebagai campur tangan. Penggelapan dana nasabah mencapai Rp106 triliun di Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya menjadi salah satu kasus besar yang menunjukkan rentannya pengawasan di koperasi.
Terkini, anggota Koperasi Simpan Pinjam Melania Credit Union (KSP-MCU) mengaku tak bisa mengambil simpanannya senilai total Rp50 miliar. Pengurus mengklaim uang sedang dikelola debitur atau peminjam. Anggota KSP-MCU dan Komite Krisis telah mengajukan somasi terbuka pada pengurus, pengawas, dan seluruh jajaran manajemen KSP-MCU, Sabtu, 8 Juni 2024.
Anggota Komite Krisis, Susi Silalahi, menuntut pertanggungjawaban KSP-MCU atas tabungan anggota yang tidak dapat diambil. “Kami melayangkan somasi terbuka atas uang tabungan anggota yang hingga saat ini tidak dapat diambil, dengan total kerugian Rp 50 miliar,” ujar Susi dalam keterangannya.
Baca Juga: Tersengat Ide BUMN Jadi Koperasi
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Manajer Koperasi Indonesia (AMKI), Sularto, menilai pengawasan terhadap koperasi selama ini sudah layak dan sesuai amanat UU PPSK. Sebagai informasi, pengawasan koperasi non-anggota dipegang OJK. Sedangkan koperasi dengan anggota di bawah Kemenkop UKM.
Meski demikian, pihaknya menyadari revisi UU Koperasi krusial untuk memberikan penegasan dalam isu-isu koperasi. Sehingga, ke depan tak ada lagi kasus koperasi bodong seperti Indosurya. “Indosurya ini kan sebenarnya bukan koperasi, cuma mengaku koperasi. Di situlah pentingnya UU hadir dan membedakan, mana koperasi yang benar, mana yang tidak.”
Pemerhati koperasi, Suroto, menilai pangkal masalah koperasi di Indonesia saat ini adalah minimnya political will pemerintah. Dia menyebut pemerintah sudah punya prinsip koperasi yang dapat dijalankan dengan UU lama.
Menurut Suroto, prinsip itu cukup diturunkan dalam regulasi tingkat kementerian untuk penindakan. “Masalahnya pemerintah tidak pernah melihat itu sebagai urgensi untuk menyusun sistem pengawasan koperasi untuk menjaga kepentingan publik,” ujar Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi (AKSES) ini.
Alih-alih merevisi UU, Suroto mendorong pemerintah mengambil langkah cepat dalam membuat regulasi untuk memukul para rentenir berkedok koperasi. “Itu cukup dengan Peraturan Menteri atau PP,” ujar Suroto.