Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik anak subholding Pertamina NRE, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).
Korporasi

Nasib IPO Pertamina Geothermal Terkatung-katung Padahal Prospek Saham Cerah

  • Direncanakan bakal melantai di pasar modal bersama dengan PT Dayamitra Telekomunikasi (Persero) Tbk (MTEL) atau Mitratel, namun nasib IPO PGE masih terkatung-katung.
Korporasi
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir sebetulnya memiliki utang terkait rencana Initial Public Offering (IPO) PT Pertamina Geothermal Energy (Persero) atau PGE, anak usaha PT Pertamina (Persero).

Direncanakan bakal melantai di pasar modal Indonesia atau Bursa Efek Indonesia (BEI) akhir tahun ini bersama dengan PT Dayamitra Telekomunikasi (Persero) Tbk (MTEL) atau Mitratel, namun nasib IPO PGE masih terkatung-katung dan tidak pasti.

Adapun besaran dana segar yang diperoleh dari aksi korporasi dua BUMN tersebut ditargetkan mencapai US$1 miliar setara Rp14,6 triliun.

Baru-baru ini, Erick terpaksa menjadwalkan ulang IPO produsen energi terbarukan (EBT) tersebut ke tahun depan. Namun Erick tidak menjelaskan secara detail timeline melantainya PGE di pasar bursa.

Jajaran direksi PGE ketika dikonfirmasi TrenAsia.com pun belum memberikan jawaban terkait rencana dan besaran dana IPO.

Dari laporan Bloomberg, diketahui bahwa rencana IPO holding BUMN panas bumi ini mencapai US$500 juta atau sekitar Rp7,17 triliun (asumsi kurs Rp14.343 per dolar AS).

Erick mengatakan PGE nantinya akan menjadi alternatif dari green elektric untuk listrik yang merupakan bagian dari program 15 gigawatt (GW) yang menjadi visi transformasi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dari fosil ke green energy.

PLN disebutkan telah berencana akan berinvestasi hingga US$500 miliar setara Rp7.150 triliun untuk mendukung energi hijau, melakukan dekarbonisasi dan mencapai target netral karbon atau emisi nol bersih pada 2060.

PGE sendiri direncanakan menjadi induk dari Holding BUMN Panas Bumi, yang nantinya beranggotakan PT PLN Gas dan Geothermal dan PT Geo Dipa Energy (Persero). Holding ini ditargetkan akan mengoperasikan kapasitas pembangkit 1.022,5 megawatt (MW).

"Untuk 2022 kita akan go public (Pertamina) Geothermal Energy untuk memberi dorongan mengenai green energy, green economy," kata Erick dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Selasa, 7 Desember 2021.

Rencana IPO PGE sebetulnya diserukan Erick sejak awal tahun ini sebagai bagian dari program jangka pendek BUMN. Erick mengatakan akan memasukkan 8-12 BUMN ke BEI dalam waktu tiga tahun ke depan.

"Di pipeline saya tidak mau bicara angka fix-nya namun terdapat 8 sampai dengan 12 BUMN maupun anak usahanya yang akan kita Go Public," ujar Erick Thohir.

Dalam transformasi BUMN, dia percaya untuk tiga tahun ke depan Kementerian BUMN akan me-listingkan lebih banyak BUMN lagi bahkan anak atau cucu BUMN.

Adapun, BUMN yang terakhir IPO adalah PT Phapros Tbk (PEHA). Anak usaha PT Kimia Farma Tbk (KAEF) ini melantai di pasar modal pada 16 Desember 2018.

"Tetapi bukan sekedar Go Public, kembali fundamental dan sustainability-nya harus ada karena saya tahu ada 28 BUMN yang sudah listing di bursa efek juga tapi ada empat yang tersengal-sengal," katanya.

Diantara beberapa BUMN yang segera pipeline selain PGE, Erick mengatakan salah satunya adalah PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Perusahaan penyeberangan laut domestik ini akan IPO untuk memperkuat struktur modal perusahaan.

Erick mengatakan salah satu investasi yang akan dilakukan ASDP adalah membeli kapal baru. Saat ini banyak kapal milik ASPD yang sudah berusia sangat tua. Guna menjaga keamanan dan keselamatan masyarakat, pemerintah merasa perlu membeli kapal baru.

"Kalau kita melihat kondisi kapalnya sudah makin tua dan ini tentu membahayakan buat kita kalau kita bersandarkan dengan transportasi yang seperti ini. Keselamatan publik menjadi kunci," ungkap mantan bos Inter Milan.

Menurut sumber internal ASDP, perusahaan akan melantai di bursa pada kuartal ketiga tahun depan. Target dana segar yang dihimpun dari aksi korporasi tersebut mencapai Rp6 triliun sebagai sebuah investasi jangka panjang.

Prospek Saham Cerah

Sebagai sepertiga kekuatan ekonomi, Erick memang terus mendorong agar BUMN terus melakukan transformasi bisnis. Tidak hanya menyangkut kinerja keuangan, melainkan juga soal perilaku dan fokus bisnis.

Namun demikian, merebaknya pandemi COVID-19 membuat kekuatan BUMN rontok. Sejumlah perusahaan pelat merah terpaksa "mengemis" dana talangan dari pemerintah untuk memperkuat struktur modalnya. Beberapa lainnya telah dilikuidasi dan lebih dari lima BUMN terancam dibubarkan.

Volatilitas pasar saham karena gejolak pandemi memicu sejumlah BUMN mengubah arah bisnisnya. Tidak heran jika beberapa BUMN dan anak usahanya tersengal-sengal untuk bisa melantai di pasar bursa tahun ini.

Salah satunya adalah PGE. Patut diduga bahwa kondisi keuangan anak kandung Pertamina tersebut masih belum stabil. Apalagi induknya sendiri memiliki utang hampir Rp600 triliun.

Padahal, pelaku pasar, dalam hal ini investor memandang bahwa saham PGE bakal lebih cerah di masa depan. Hal itu karena fokus bisnis PGE di sektor energi terbarukan sejalan dengan isu global yang kini menjadi konsern pemerintah yaitu terkait perubahan iklim.

Equity Analyst Indo Premier Sekuritas Mino mengatakan investor tentunya akan lebih tertarik dengan isu-isu pasar yang menjadi perhatian nasional maupun global.

PGE, kata dia, merupakan perusahaan yang sangat konsern pada bidang EBT, isu strategis yang kini menjadi topik pembicaraan global.

"Saya melihat investor lebih tertarik ke Pertamina Geothermal. Ini boleh dibilang salah satu emiten yang selaras dengan isu-isu terkini tekait energi terbarukan. Kita tahu PGE salah satu emiten yang memproduksi listrik dari energi panas bumi yang boleh dibilang energi yang ramah lingkungan," katanya di Jakarta, Jumat, 17 Desember 2021.

Sementara untuk saham ASDP, Mino mengatakan bahwa perusahaan ini bukannya tanpa prospek yang bagus.

Namun dengan melihat rekam jejak perusahaan di bidang serupa, kebanyakan investor di pasar modal kurang berminat untuk memborong saham emiten transportasi.

"Kalau ASDP itu kan emiten di bidang transportasi. Sektor transportasi itu sangat siklikal, ambil contoh, misalnya Garuda kinerjanya kurang terlalu bagus tergantung dari siklus ekonomi," papar Mino.

Tidak hanya emiten transportasi, diproyeksikan bahwa emiten di sektor telekomunikasi juga tidak begitu atraktif di pasar modal. Hal itu terbukti dari kinerja saham Mitratel yang langsung tersungkur usai melantai dan meraup dana segar Rp18,9 triliun dari IPO.

Pada perdagangan perdana 22 November 2021, saham anak usaha PT Telkom (Persero)Tbk (TLKM) ini langsung terjun 4,38% menjadi Rp765 usai dibuka pada level Rp850 dan sempat menyentuh level tertinggi di Rp890 sebelum masuk ke zona merah sejak perdagangan sesi I. Kapitalisasi pasar MTEL tercatat senilai Rp63,89 triliun saat itu.

Saat ini, saham emiten yang memiliki 28.300 menara ini menyentuh level Rp830, terlihat merangkak tipis sejak 24 Desember lalu. Namun Erick optimistis saham penyedia layanan provider ini bakal tumbuh positif tahun depan.

"Hari ini masih mendapat tekanan, tapi kita konfiden akan terus melakukan perbaikan," ujar Erick awal bulan ini.