Nataru Dihantui Kenaikan PPN 12 Persen, Perburuk Beban Pengeluaran
- Kenaikan PPN menjadi 12% menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.
Makroekonomi
JAKARTA – Pemerintah telah memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Pro kontra terkait peraturan ini mulai bergulir di publik.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, momentum pengumuman kenaikan PPN ini tidak tepat. Pasalnya hal itu dilakukan menjelang libur Natal dan tahun baru di saat produsen cenderung menaikkan harga lebih tinggi.
“Hal ini berpotensi memperburuk beban pengeluaran masyarakat di tengah lonjakan konsumsi akhir tahun.”kata Bhima di Jakarta pada Selasa, 17 Desember 2024.
- Melemah Lagi, LQ45 Hari Ini 17 Desember 2024 Ditutup di 842,33 Poin
- IHSG Hari Ini 17 Desember 2024 Terperosok 100,90 ke 7.157,73 Poin
- Belum Penuhi Modal, 10 P2P Lending Terancam Tumbang
Namun, Pemerintah masih bersikukuh agar kebijakan ini tetap dilanjutkan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan perekonomian.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Wahyudi Askar menyoroti implikasi kebijakan ini berisiko memicu inflasi yang tetap tinggi pada tahun depan, sehingga menambah tekanan ekonomi, khususnya bagi kelompok menengah ke bawah.
“Kenaikan PPN menjadi 12% menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Ini tentu memperburuk kondisi ekonomi mereka. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan. Hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan,"lanjutnya.
Bermain Kata-Kata
Wahyudi menilai Kementerian Keuangan pandai sekali bermain kata-kata. Seakan-akan Pemerintah dan DPR mendukung kebijakan progresif bahwa semua barang pokok dikecualikan PPN. Padahal, kebijakan pengecualian itu sudah ada sejak tahun 2009. Kenyataannya, PPN tetap naik untuk hampir semua komoditas yang dikonsumsi masyarakat bawah.
Wahyudi juga menyoroti pemerintah yang membandingkan bahwa PPN Indonesia lebih rendah dari negara lain seperti Kanada, China, Brazil dan negara lainnya juga kurang tepat. Pasalnya negara maju itu memiliki daya beli masyarakat yang kuat memungkinkan pemerintah untuk menetapkan tarif pajak konsumsi yang lebih besar tanpa mengurangi kesejahteraan ekonomi mereka.
Kenaikan PPN 12% yang dikatakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sejalan dengan untuk menjaga daya beli masyarakat dinilai justru sebaliknya.
“Dampak kenaikan tarif PPN terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga negatif. Ketika tarif PPN di angka 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 5 persen-an. Setelah tarif meningkat menjadi 11 persen terjadi perlambatan dari 4,9 persen (2022) menjadi 4,8 persen (2023). Diprediksi tahun 2024 semakin melambat.” imbuhnyaa.
Secara penerimaan negara, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% juga tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan. Namun, dampak psikologisnya terhadap daya beli masyarakat dan dunia usaha justru berpotensi lebih besar.
Data pertumbuhan pengeluaran konsumen untuk Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) yang hanya naik 1,1% menunjukkan daya beli masyarakat masih lemah. Kenaikan tarif ini hanya akan memperburuk situasi, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Lebih lanjut, alternatif lain, seperti memperluas basis pajak, penerapan pajak kekayaan dan memberantas celah penghindaran pajak, sebetulnya dapat lebih efektif meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat.
Sehingga menurut Celios, kenaikan PPN sebaiknya dikaji kembali agar tidak memperburuk kesejahteraan masyarakat, terutama di tengah kondisi sosial-ekonomi yang masih rentan.