
Negara-Negara Eropa Enggan Kirim Pasukan ke Ukraina
- Prancis mengusulkan pasukan penenang yang akan ditempatkan di belakang. Bukan di garis gencatan senjata di Ukraina di masa mendatang .
Dunia
PARIS- Negara-negara Eropa berselisih mengenai pengiriman pasukan ke Ukraina. Hal itu terungkap dalam pertemuan darurat yang digelar di Prancis.
Para pemimpin berkumpul di Paris untuk menghadiri pertemuan puncak pada Senin 17 Februari 2025 sore waktu setempat. Jerman, Italia, Polandia dan Spanyol menyatakan keengganan untuk mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke negara yang dilanda perang tersebut. Pernyataan ini disampaikan beberapa jam setelah Inggris menawarkan untuk mengerahkan pasukan di lapangan.
Pertemuan diselenggarakan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron dan dihadiri oleh para pemimpin enam negara Uni Eropa lainnya, Inggris, dan pejabat dari NATO dan Uni Eropa. Prancis juga berharap pertemuan akan menghasilkan rencana untuk membantu negara-negara Eropa meningkatkan pengeluaran pertahanan. Macron dan Trump berbicara menjelang pertemuan puncak Paris.
- Buyback Saham BNI: Menjaga Nilai Investasi di Tengah Fluktuasi Pasar Global
- Imbas Harga Minyak Dunia Naik, ICP Januari 2025 Dipatok US$76,81 per barel
- Tok! DPR Sahkan RUU Minerba Jadi Undang-Undang, Ini Kontroversinya
Menurut pejabat yang diberi pengarahan pada pertemuan tersebut mengatakan, Prancis mengusulkan pasukan penenang yang akan ditempatkan di belakang. Bukan di garis gencatan senjata di Ukraina di masa mendatang .
Namun dalam pernyataan lugas setelah pertemuan puncak tersebut, Kanselir Jerman Olaf Scholz menyebut diskusi tentang pengerahan pasukan sangat tidak pantas. Ini mengingat perang masih berlangsung.
"Pembahasan ini masih terlalu dini dan belum saatnya dilakukan," kata Scholz sebagaimana dikutip Financial Times. Seperti diketahui Sholz akan menghadapi pemilihan umum nasional pada hari Minggu. Dia juga telah lama bersikap hati-hati tentang masalah pengiriman tentara ke Ukraina. Ia mengatakan “sedikit jengkel” dengan diskusi tersebut, dan menyebutnya sebagai “debat yang tidak dapat dipahami pada waktu yang salah dan tentang topik yang salah”.
Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni mengatakan kepada para pemimpin negara lain bahwa ia ragu untuk mengirim pasukan Eropa ke Ukraina. Dia mengatakan bahwa hal itu merupakan pilihan yang paling rumit dan paling tidak mungkin efektif dari berbagai pilihan. Hal itu disampaikan orang-orang yang mengetahui pernyataannya.
Sebelumnya Perdana Menteri Inggris Sir Keir Starmer mengatakan pihaknya siap mempertimbangkan untuk mengerahkan pasukan Inggris di lapangan bersama pasukan lain. Pengiriman akan dilakukan jika ada perjanjian perdamaian yang langgeng.
Namun, ia menambahkan: "Harus ada jaminan keamanan Amerika. Jaminan keamanan AS adalah satu-satunya cara efektif untuk mencegah Rusia menyerang Ukraina lagi."
Selain Inggris, Jerman, Italia, dan Polandia juga menyampaikan pendapat setelah pertemuan tersebut agar Amerika tetap terlibat dalam menjamin keamanan Ukraina.
Starmer mengonfirmasi bahwa dia akan bertemu Trump di Washington minggu depan dan kemudian akan mengadakan pembicaraan lebih lanjut dengan para pemimpin Eropa sekembalinya dia.
Sekutu-sekutu Washington di Eropa berlomba-lomba untuk menanggapi pengumuman mengejutkan Trump tentang perundingan damai dengan Rusia. Proses, yang akan dimulai di Arab Saudi pada Selasa 18 Februari 2025 waktu setempat. Presiden Amerika juga menuntut negara-negara Eropa untuk mengeluarkan lebih banyak dana untuk pertahanan.
Beberapa ibu kota Eropa khawatir Trump akan segera lepas tangan terhadap Ukraina, dan mengharuskan benua itu memastikan keamanan negara itu setelah gencatan senjata. Sesuatu yang menyiratkan komitmen sumber daya keuangan dan militer yang jauh melampaui tingkat saat ini.
Kremlin memuji diskusi dengan Amerika di Riyadh yang tidak akan mengikutsertakan Ukraina. Rusia menyebut hal ini sebagai langkah untuk memulihkan hubungan bilateral penuh dengan Washington dan mengakhiri perang.
Namun Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan Kyiv tidak akan mengakui hasil negosiasi apa pun yang tidak melibatkannya. Keith Kellogg, utusan Trump untuk Ukraina, kemudian mengatakan tidak seorang pun akan memaksakan keputusan pada Zelenskyy sebagai pemimpin terpilih dari sebuah negara berdaulat.
Seorang pejabat Inggris menepis keengganan beberapa negara Eropa untuk menawarkan pasukan guna mempertahankan gencatan senjata di Ukraina. Dia mengatakan “Kita tidak butuh semua orang mengatakan 'Ya', cukup katakan secukupnya saja.”
Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen mengatakan dia terbuka untuk membahas banyak hal yang berbeda. Termasuk pengerahan pasukan. "Namun, saya juga ingin menekankan bahwa ada banyak hal yang perlu diklarifikasi sebelum kita mencapai situasi ini, karena kita berbicara tentang keselamatan pria dan wanita kita sendiri," tambahnya.
Spanyol di bagian lain menyatakan skeptis terhadap pengiriman pasukan ke Ukraina sebelum pertemuan puncak Paris. "Saat ini tidak ada yang mempertimbangkan untuk mengirim pasukan ke Ukraina. Perdamaian masih sangat jauh dan hanya karena satu alasan: Vladimir Putin," kata José Manuel Albares, menteri luar negeri Spanyol.
Polandia telah meningkatkan anggaran pertahanan sejak perang Ukraina dimulai dan bersikap agresif terhadap perlunya melindungi Eropa dari Rusia. Namun Perdana Menteri Donald Tusk mengatakan Warsawa tidak siap untuk mengirim pasukan. “Namun kami akan mendukung dalam hal logistik dan dukungan politik, negara-negara yang mungkin ingin memberikan jaminan seperti itu di masa mendatang,” imbuh Tusk.
- Peluang Cuan Saham ANTM hingga BRMS Seiring Harga Emas Tembus Rekor Baru
- Bukalapak Mulai Bergerak, LQ45 Hari Ini 11 Februari 2025 Melemah Tipis
- Kinerja Antam (ANTM) 2025-2026 Diramal Positif, Target Saham Naik
Dia meremehkan perbedaan yang muncul pada pertemuan itu dengan mengatakan, negara-negara Eropa semuanya menyadari bahwa mereka harus meningkatkan militer mereka. “Ada kesepakatan dan suara bulat bahwa peningkatan signifikan dalam anggaran pertahanan benar-benar diperlukan,” kata Tusk.
Peningkatan Anggaran Pertahanan
Para pemimpin di pertemuan Paris membahas cara mendanai peningkatan kemampuan pertahanan Eropa. Mungkin melalui pinjaman bersama atau apa yang disebut Prancis sebagai metode “pembiayaan inovatif” lainnya.
Macron telah mendesak Uni Eropa untuk terlibat dalam pinjaman bersama guna mengurangi ketergantungannya pada pasukan dan persenjataan Amerika, meskipun Jerman dan Belanda menentangnya.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada hari Jumat mengatakan dia akan mengusulkan modal Uni Eropa yang memungkinkan pelonggaran sementara aturan blok tersebut mengenai defisit untuk pengeluaran pertahanan yang lebih tinggi. Scholz mendukung gagasan klausul pelarian terhadap aturan defisit Uni Eropa. Namun tidak mendukung pinjaman bersama.
Starmer di bagian lain telah berkomitmen untuk menetapkan jalur agar pengeluaran pertahanan Inggris mencapai 2,5 persen dari PDB. “Eropa harus meningkatkan pengeluaran dan komitmen yang kami berikan,” katanya.