Negara Tekor Besar, Ini Alasan Kebijakan Harga Gas Murah Gagal Capai Target
- Kebijakan harga gas murah yang dikenal Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) perlu segera dievaluasi. Sebab kebijakan yang sudah dijalankan sejak pandemi Covid-19 ini terbukti membebani keuangan negara dan berpotensi menurunkan minat investasi di hulu migas. Apalagi sektor industri tertentu penerima manfaat harga gas subsidi ini juga gagal meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian.
Energi
JAKARTA – Kebijakan harga gas murah yang dikenal Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) perlu segera dievaluasi. Sebab kebijakan yang sudah dijalankan sejak pandemi Covid-19 ini terbukti membebani keuangan negara dan berpotensi menurunkan minat investasi di hulu migas. Apalagi sektor industri tertentu penerima manfaat harga gas subsidi ini juga gagal meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian.
”HGBT sifatnya kebijakan yang protektif atau defensif pada masa pendemi untuk mengamankan 7 industri yang dirasa memerlukannya. Harus dievaluasi melalui penelitian, apakah kebijakan tersebut mampu meningkatkan daya saing industri-industri yang menerima harga tersebut,” ungkap Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin, kepada wartawan.
Sebanyak 7 sektor penikmat HGBT saat ini terdiri atas sektor industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, hingga sarung tangan karet. Seluruhnya mendapatkan pasokan gas di bawah harga pasar yakni USD6 per MMBTU.
- Sisi Lain Hilirisasi: Nilai Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan
- Pemerintah Keluarkan Aturan Baru Diskon PPN untuk Mobil Listrik di 2024
- Sepanjang 2023, Transaksi Kripto di Indonesia Melonjak 179,7 Persen
Eddy menjelaskan bahwa diperlukan riset untuk mengetahui dampak kebijakan HGBT tersebut. Hal ini penting untuk menjadi landasan apakah program tersebut diteruskan atau layak dihentikan.
”Dampaknya hanya memproteksi atau men-defend berbagai industri yang dituju tersebut. Apakah kebijakan tersebut meningkatkan daya saing, ini hanya bisa dijawab dengan riset kuantitatif yang mengakomodasi berbagai faktor lain,” imbuhnya.
Lembaga Kajian Energy Reforminer Institute memperkirakan negara telah kehilangan penerimaan PNBP dari gas hingga sekitar Rp 30 triliun akibat subsidi harga gas sejak tahun 2020 ini.
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat sampai tahun 2022 pelaksanaan harga gas bumi tertentu (HGBT) sebesar USD 6 per MMBTU berdampak pada kehilangan penerimaan negara sebesar Rp 29,39 triliun. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas, Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, kehilangan penerimaan negara terjadi pada sektor hulu minyak dan gas bumi.
Itu akibat penyesuaian harga gas bumi setelah menghitung bagi hasil produksi migas antara bagian pemerintah terhadap kontraktor. “Terkait penurunan-penurunan penerimaan bagian negara atas HGBT ini, kewajiban mereka kepada kontraktor yaitu sebesar 46,81 persen atau 16,46 triliun pada tahun 2021 dan 46,94 persen atau 12,93 triliun tahun 2022,” kata Tutuka tahun lalu.
Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS), Ali Ahmudi Achyak, mengatakan faktor lain yang penting menjadi pertimbangan adalah keseimbangan di industri migas. Sebab meski di satu sisi program HGBT menjadi berkah bagi sektor industri penerima, di sisi lain pada saat yang sama kebijakan ini menekan industri hulu migas (upstream), industri tengah migas (midstream), dan downstream (hilir) migas sebagai penyalur.
Terlebih saat ini perekonomian Indonesia sudah terlepas dari potensi resesi akibat krisis pandemi yang sudah berlalu itu. ”Untuk kondisi saat ini yang sudah berlangsung normal dan pertumbuhan ekonomi relatif terjaga, serta tidak ada tujuan tujuan khusus akibat darurat pandemi, maka sudah saatnya kebijakan HGBT tersebut dikaji ulang dan diselaraskan dengan program transisi energi berkeadilan dan berkelanjutan,” ungkapnya, baru-baru ini.
Apalagi, lanjut Ali, keberlanjutan bisnis migas dari hulu hingga hilir mesti dijaga keseimbangannya supaya rantai pasok berjalan baik. “Bagi sektor di atasnya (upstream dan midstream) itu jangka panjang akan menimbulkan masalah besar karena harga tidak sesuai mekanisme pasar,” tegasnya.
Ditambah lagi fakta bahwa serapan gas HGBT tidak mencapai 100 persen dari total alokasi sebagaimana disampaikan Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas, Kurnia Chairi. Adapun total alokasi volume yang disediakan pemerintah tertuang dalam Kepmen ESDM No 91 tahun 2023.
Total alokasi volume gas untuk HGBT di 2023 yakni 2.541 billion british thermal unit per day (BBTUD). Namun, realisasi penyerapan sementara hanya 1.883 BBTUD atau setara 74 persen.
"Realisasi serapan volume gas HGBT 2023 sebesar 74 persen dari volume alokasi Kepmen, data masih unaudited. Untuk keseluruhan industri pengguna seperti listrik, pupuk. Detailnya belum bisa disampaikan karena masih direkonsiliasi," terangnya.
Kurnia juga menyoroti bahwa tertekannya hulu migas karena HGBT perlu mendapat perhatian serius. Meskipun pada prinsipnya SKK Migas konsisten mendukung HGBT agar dapat memberikan nilai tambah dan produktivitas industri dalam negeri sehingga mampu kompetitif sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.
"Hal tersebut dilakukan dengan tetap menjaga keekonomian hulu migas sehingga tetap menimbulkan daya tarik investasi hulu migas yang juga sangat penting," jelasnya.