Negosiasi Kenaikan Harga terhadap Sektor Ritel jadi Ujian Lain Industri Mamin
- Negosiasi kenaikan harga produk makanan dan minuman kepada sektor ritel menjadi ujian lainnya bagi industri mamin di tengah lonjakan harga gula rafinasi.
Industri
JAKARTA – Negosiasi kenaikan harga produk makanan dan minuman kepada sektor ritel menjadi ujian lainnya bagi industri mamin di tengah lonjakan harga gula rafinasi.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman mengungkapkan sulit bagi produsen mamin untuk menaikkan harga di tengah tahun, terutama proses negosiasi kepada para peritel.
Menurutnya, tak mudah bagi para produsen mamin mendapat ‘restu’ sektor ritel untuk menaikkan harga makanan dan minuman di tengah tekanan kenaikan harga bahan baku tersebut. Sebab peritel sebagai penjual produk juga mempunyai kepentingann menjaga daya beli masyarakat.
“Pengalaman selama ini, bagi perusahaan besar sulit naik harga di tengah tahun karena pertimbangan penjualan akan turun kalau harga naik, begitupula negosiasi dengan ritel akan sulit,” ujarnya saat dihubungi TrenAsia.com belum lama ini.
Dengan kondisi tersebut, pihaknya memilih untuk mengurangi margin keuntungan dari penjualan. Namun, menurutnya untuk pemangkasan margin akan lebih terasa bagi industri besar. “Kalau perusahaan kecil lebih mudah menyesuaikan harga.”
- Ternyata Begini 5 Cara Menghasilkan Uang Tanpa Pekerjaan
- 10 Bank Terbesar RI Catat Pertumbuhan Laba, NISP dan BRIS Paling Dominan
- Tok! BI Putuskan Kembali Tahan Suku Bunga Acuan 5,75 Persen
Di sisi lain, lanjut Adhi, industri dengan skala lebih besar akan lebih bertahan dari ancaman kenaikan harga bahan baku, salah satunya gula rafinasi. Pasalnya, perusahaan-perusahaan kakap pada sektor ini diuntungkan dengan kemampuan menjalin kontrak pengadaan bahan baku dalam jangka waktu panjang.
“Bagi pemain besar yang sudah kontrak setahun akan lebih leluasa menghadapi gejolak ini. Tapi kebanyakan perusahaan menengah kecil, beli sesuai kebutuhan sehingga harga naik. Pasti akan berpengaruh terhadap harga pokok produksi,” papar dia.
Kendati begitu, Adhi mengamini cepat atau lambat akan terjadi kenaikan harga jual produk, mengingat tingginya lonjakan harga gula dunia. “Apakah akan menaikkan harga jual produk? Biasanya perusahaan besar punya strategi jangka panjang, kenaikan biasa akhir atau awal tahun dan berpengaruh terhadap margin usaha.”
Harga Gula Rafinasi Melonjak
Pada kuartal I-2023 industri mamin mulai dihadapkan dengan tantangan kenaikan harga gula rafinasi global dari US$19 sen per pon menjadi US$26 sen per pon atau mencapai 36,84% yang diakibatkan gangguan produksi pada sejumlah negara produsen gula seperti Thailand, India, Australia, dan Brasil.
- 6 Cara Mendinginkan HP yang Panas, Bantu Cegah Kerusakan Ponsel!
- Kejagung Periksa 6 Saksi Terkait Kasus Korupsi Proyek Fiktif Waskita Karya (WSKT)
- BSI Disebut Tidak Bisa Bayar Tebusan Serangan Ransomware, Begini Penjelasan Manajemen
Padahal, selama ini pelaku industri makanan dan minuman di Bumi Pertiwi bergantung pada impor gula rafinasi yang didukung oleh Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Industri Gula Dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional.
Adhi menilai kondisi tersebut membuat pihaknya mengluarkan biaya lebih besar dalam proses fafinasi gula menjadi Rp10.000 per kg dari sebelumnya Rp6.000 – Rp7.000 per kg. “Tentu ini akan memengaruhi biaya produksi di hilir.”
Lebih lanjut Adhi berharap adanya peningkatan pasokan gula nasional yang masih jauh dari permintaan pasar, selain diperlukan sejumlah efisiensi dan inovasi bahan baku demi kestabilan industri mamin nasional.