Kereta Cepat Whoosh saat berhenti di Stasiun Halim, Sabtu 28 Oktober 2023 (Foto: Khafidz Abdulah/ Trenasia)
BUMN

Nestapa KAI dan WIKA, Kelimpungan Bayar Utang Konsorsium Whoosh

  • Proyek Whoosh memperoleh pendanaan 75 persen dari China Development Bank (CDB), sementara 25 persen sisanya diperoleh melalui ekuitas konsorsium yang terdiri dari perusahaan BUMN. Akhirnya deretan BUMN tersebut mulai kelimpungan membayar beban hutang

BUMN

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Proyek kereta cepat Whoosh menjadi sumber kesulitan keuangan bagi beberapa perusahaan BUMN yang terlibat. 

Diketahui proyek ini mendapatkan pendanaan sebesar 75% dari China Development Bank (CDB), sementara 25% sisanya diperoleh melalui ekuitas dari konsorsium yang terdiri dari perusahaan BUMN. 

Konsorsium ini beroperasi di bawah bendera PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). PSBI memegang 60% saham proyek Whoosh.

Konsorsium tersebut mencakup lima perusahaan BUMN, yaitu PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSM), PT Kereta Api Indonesia (Persero) (KAI), PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) Tbk (SMI), dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI).

KAI dan WIKA Rugi Besar

PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) mencatatkan kerugian besar hingga Rp7,12 triliun pada tahun 2023.

Bila dibandingkan dengan laporan keuangan tahun 2022 yang mencatatkan kerugian Rp59,59 miliar jumlah kerugian tahun 2023 tercatat membengkak 1200 kali lipat. Jumlah yang sangat mencengangkan. 

Salah satu penyebab utama kerugian ini adalah investasi WIKA dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, nilainya mencapai Rp 6,1 triliun. Dana tersebut disetor ke konsorsium kereta cepat melalui PSBI. 

Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito, menyatakan perusahaannya yang memiliki utang besar sebesar Rp6,1 triliun, masih harus memikirkan utang senilai Rp5,5 triliun yang masih belum dibayar. 

Akibatnya, WIKA harus menanggung beban utang hampir Rp12 triliun, Diakui Agus hal ini semakin memperberat kondisi keuangan perusahaan. “Beban lain-lain ini di antaranya mulai tahun 2022 kami sudah mencatat adanya kerugian dari PSBI atau kereta cepat,” keluh Agus di depan anggota Parlemen, dikutip TrenAsia 10 Juli 2024.

Nasib yang sama juga dialami PT Kereta Api Indonesia, KAI dilaporkan menghadapi tekanan finansial yang semakin parah akibat proyek kereta cepat.

Sebelumnya Komite Kereta Cepat yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan beranggotakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, serta Menteri BUMN Erick Thohir, meminta KAI menyetor dividen guna mendukung pembangunan kereta cepat.  Akhirnya KAI menyetor dividen perusahaannya pada tahun 2021-2023.

KAI sejatinya sudah kesulitan membayar utang, karena jumlahnya yang besar dan kewajiban cicilan kepada China Development Bank (CDB), serta biaya operasional kereta cepat Whoosh yang terus merugi akibat rendahnya jumlah penumpang. Pada kuartal keempat tahun 2023, utang KAI dilaporkan sudah membengkak hingga Rp50,46 triliun. 

Bukan merosot, jumlah utang tersebut justru membengkak jadi Rp56,56 triliun pada kuartal pertama tahun 2024 setelah CDB memberikan suntikan dana tambahan  pada februari 2024 sebesar Rp6,98 triliun untuk menutup kerugian proyek Whoosh. 

EVP Corporate Secretary KAI, Raden Agus Dwinanto, menyampaikan keluhannya pada bulan April 2024, Agus mengungkapkan perusahaan akan kesulitan melunasi utang sebesar itu tanpa dukungan dari pemerintah.  "Bagaimana cara lunasinya? Kita meminta dukungan, karena namanya infrastruktur dibebankan ke operator berat sekali ya," terang Raden.

Menilik Kembali Bengkaknya Utang Whoosh

Awalnya pembangunan Kereta Cepat Whoosh diperkirakan menelan dana sebesar US$6,07 miliar atau sekitar Rp98,57 triliun (kurs Rp16.240). Dana tersebut rencananya akan ditutup melalui ekuitas KCIC sebesar US$1,52 miliar atau sekitar Rp24,68 triliun , nilai ini mencangkup 25% dari keseluruhan proyek.

Sisanya sekitar 75% akan ditutup melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB) sebesar US$4,55 miliar atau sekitar Rp73,89 triliun. Pinjaman dari CDB tersebut bertenor 40 tahun dengan suku bunga 2% per tahun dalam mata uang dolar AS. 

Namun, biaya proyek ini justru membengkak tak terkendali hingga US$1,2 miliar atau sekitar Rp19,48 triliun dari perkiraan awal. Sehingga total biaya pembangunan Whoosh secara keseluruhan meningkat menjadi US$7,28 miliar atau sekitar Rp118,22 triliun. 

Kenaikan biaya ini menambah beban keuangan pada konsorsium dan memperparah kondisi finansial perusahaan yang terlibat dalam proyek ini.