<p>Ilustrasi pengisian daya mobil listrik. Sumber: Pinterest</p>
Industri

Nikel Berlimpah, Sri Mulyani Yakin Efek Domino Industri Mobil Listrik bagi RI

  • Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengaku optimistis melihat potensi Indonesia dalam industri Battery Electric Vehicle (BEV). Indonesia diklaim sebagai pusat cadangan sumber daya nikel, bahan baku utama dalam industri baterai dan pengembangan mobil listrik.

Industri

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA –  Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengaku optimistis melihat potensi Indonesia dalam industri Battery Electric Vehicle (BEV). Indonesia diklaim sebagai pusat cadangan sumber daya nikel, bahan baku utama dalam industri baterai dan pengembangan mobil listrik.

“Indonesia sebagai negara yang menghasilkan nikel dengan reserve dan produksi terbesar jelas merupakan negara yang sekarang menjadi pusat perhatian terhadap pembangunan dari battery electric vehicle,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Senayan Jakarta, Senin 15 Maret 2021.

Menurut hasil pemetaan Badan Geologi, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.987 juta ton. Angka tersebut merupakan tertinggi di dunia, dengan rincian tereka 5.094 juta ton, terunjuk, 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton dan hipotetik 228 juta ton.

Sementara itu, produksi nikel Indonesia sepanjang 2019 mencapai 800.000 ton. Capaian tersebut mengungguli Filipina dengan 420.000 ton maupun Rusia 270.000 ton. Pada 2020, diperkirakan produksi nikel Indonesia mengalami penurunan akibat pandemi COVID-19.

Produksi nikel tersebut diestimasikan mencapai 760.000 ton. Kendati demikian, angka produksi tersebut rupanya mendominasi 30% dari produksi nikel dunia.

Potensi inilah yang coba dioptimalkan pemerintah untuk menggenjot industri mobil listrik. Pasalnya, meski memiliki nikel yang berlimpah, Indonesia belum dapat menjadi pusat produksi baterai litium-ion yang digunakan bagi kendaraan listrik.

Menurut data Benchmark Mineral Intelligence per 2020, produksi baterai baterai litium-ion masih dikuasai empat negara saja. Produksi terbesar berada di China yang diprediksi memiliki kapasitas 107,6 Gigawatt hour (GWh). Sementara itu, tiga negara lain dengan kapasitas produksi terbesar lainnya ialah Amerika Serikat dengan 38 Gwh, Korea Selatan dengan 23 GWh dan Polandia dengan 5 Gwh.

Bersiap Tancap Gas
Presiden Joko Widodo saat meninjau kawasan industri di Batang terkait relokasi investasi asing. / Setneg.go.id

Oleh karena itu, pemerintah tengah menggebuk pembangunan industri baterai nasional.  Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkap LG Energi Solution bakal meresmikan proyek industri baterai kendaraan listrik pada akhir Maret 2021.

Proyek tersebut berlokasi di Batang, Jawa Tengah. Nilai investasi dari proyek ini diproyeksikan bakal mencapai US$9,8 miliar dengan kapasitas produksi mencapai 10 GWh.

Pengembangan kawasan industri Batang, Jawa Tengah merupakan proyek investasi raksasa konsorsium BUMN seperti PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero), dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dengan LG Energy Solution Ltd-Korea senilai US$9,8 miliar setara Rp141 triliun.

Jika sudah memulai tahap produksi, Indonesia akan jadi negara pertama di dunia yang punya industri baterai listrik dari hulu hingga hilir.

Hulu industri ditopang oleh pusat pertambangan di wilayah Maluku Utara. Kemudian disalurkan ke industri baterai litium Batang, Jawa Tengah, dan pabrik mobil listrik Hyundai yang berlokasi di Cikarang.

Perlu Mendorong Pasar
Tesla Powerwall yang diproduksi oleh produsen mobil listrik Tesla milik konglomerat terkaya dunia Elon Musk / Suncommon.com

Di hilir Industri, Kementerian Keuangan melempar usulan perubahan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan listrik. Usulan ini bakal mengubah Peraturan Pemerintah (PP) nomor 73 tahun 2019.

Pada skema perubahan tersebut, kendaraan listrik Battery Electric Vecicle atau BEV menjadi jenis kendaraan yang tidak mengalami perubahan aturan PPnBM. Kendaraan jenis ini diusulkan masih mendapatkan pembebasan 0% PPnBM.

Sementara itu, Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV), full hybrid, dan mild hybrid tercatat mengalami kenaikan PPnBM. Kebijakan ini pun menuai kritikan dari pengamat otomotif Yannes Martinus karena dinilai kontraprodukrif bagi penjualan mobil listrik.

Menurut Yannes, skema kenaikan PPnBM yang diusulkan Kemenkeu dapat mengacaukan program pemasyarakatan kendaraan listrik. “Akan berdampak bukan hanya pada mobil, tapi motornya juga,” katanya kepada TrenAsia.com, Selasa 16 Maret 2021.

Usulan kenaikan PPnBm ini, kata Yannes, punya potensi menghambat dorongan pasar dalam penjualan mobil listrik. Sebaliknya, pemerintah justru harus memberikan dorongan berupa insentif bagi segala jenis kendaraan listrik di kondisi saat ini.

“Insentif yang menjadi kunci memasyarakatkan kendaraan listrik di Indonesia adalah kepastian tax holiday yang impresif, pengurangan pajak penjualan. Bukannya dengan menaikkan Pajak. Ini jelas jadi kontraproduktif,” papar Yannes.

Kenyataan di lapangan rupanya masih belum terlalu menggembirakan bagi penjualan mobil listrik. Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) penjualan mobil listrik dan hybrid mencapai 1.234 unit pada 2020.

Dari catatan tersebut, jenis mobil hybrid masih mendominasi penjualan. Jenis mobil hybrid dari empat jenama mencapai 1.106 unit. Sementara mobil listrik jenis PHEV tercatat hanya terjual enam unit. Mobil listrik murni yang terjual di Indonesia baru mencapai 124 unit.

Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan pertumbuhan di negara-negara yang sudah membumikan mobil listrik. Di China misalnya, penjualan mobil listrik ini mampu mencapai  97.000 unit pada Februari 2021. Catatan penjualan tersebut meroket 675% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Insentif untuk konsumen juga harus jelas, konsisten dan tegas. Di samping berbagai kemudahan operasional kendaraan sehari-harinya. Mulai dari sistem charging, hingga kemudahan berlalu lalang di jalan raya, misalnya bebas ganjil-genap,” tambah Yannes.

Dikejar Target Pengurangan Emisi

Gencarnya upaya pemerintah dalam membumikan mobil listrik juga tidak lepas dari target pengurangan emisi nasional atau national determined contribution (NDC) sebesar 29% dengan usaha sendiri dan target 41% dengan kerja sama internasional pada 2030 mendatang.

Komitmen tersebut dinyatakan Indonesia dalam perjanjian paris pada 12 Desember 2015 lalu. Dalam perjanjian tersebut, sebanyak 195 negara berkomitmen menjaga suhu rata-rata global di bawa 2 derajat celcius.

Dalam hal ini, pemerintah coba mendorong pengembangan sektor industri kendaraan bermotor berbasis listrik agar mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Salah satu upaya yang coba didorong ialah mempersiapkan ekosistem industri mobil listrik. (SKO)