judi Inggris.jpg
Hukum Bisnis

Nilai Transaksi Capai Rp600 T, Apakah Judol Berpotensi Jadi Ladang Pajak Pemerintah?

  • Angka fantastis judol menimbulkan pertanyaan besar, apakah judi online bisa menjadi ladang pajak pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara?

Hukum Bisnis

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Aktivitas judi online terus menjadi sorotan publik dan pemerintah. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), transaksi judi online pada kuartal pertama 2024 mencapai angka fantastis, sekitar Rp600 triliun. 

“Ya tahun ini aja (3 bulan pertama/Q1) sudah mencapai lebih dari Rp100 triliun. Jadi kalau dari jumlah dan periode tahun-tahun sebelumnya sudah lebih Rp.600 triliun,” terang Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, beberapa waktu lalu. 

Angka ini meningkat dari yang tadinya Rp500 triliun pada periode yang sama di tahun 2023. Selain itu, data PPATK juga mencatat adanya pengiriman dana ratusan triliun rupiah ke luar negeri, sebagian besar dari hasil aktivitas judi online. 

Angka-angka ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah judi online bisa menjadi ladang pajak pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara? Di balik besarnya transaksi judi online, terdapat jutaan pemain di Indonesia, termasuk anak-anak di bawah 10 tahun. 

Statistik mencatat sekitar 4 juta orang terlibat dalam perjudian daring, di antaranya 80.000 adalah anak-anak. Judi online yang begitu masif ini membawa sejumlah dampak negatif, mulai dari masalah utang hingga kebocoran data pribadi dan risiko penipuan. 

Meski pemerintah telah berupaya memperketat penanganan judi online, banyaknya transaksi menimbulkan pertanyaan terkait potensi pajak dari aktivitas yang saat ini dilarang tersebut.

Dilema Pajak untuk Judi Online

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyoroti aktivitas ekonomi bawah tanah, termasuk judi online, sebagai salah satu solusi bagi tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mencapai target penerimaan negara sebesar Rp3.005,1 triliun pada 2025. 

Dalam orasi ilmiahnya di Universitas Gadjah Mada, Anggito menyinggung potensi pajak dari sektor "underground economy" tetapi juga menegaskan perlunya mencari sumber pajak lain yang lebih etis dan sesuai aturan.

"Kita membuka mata bahwa sebenarnya banyak underground economy yang tidak teregister, tidak ter-record, dan tidak bayar pajak. Jadi yang kita ambil itu," terang Anggito di Jogja.

Anggito menyadari bahwa menjadikan judi online sebagai objek pajak akan bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk memberantas praktik tersebut. Di beberapa negara, seperti Inggris, judi daring memang dilegalkan dan diatur sebagai industri yang membayar pajak. 

Namun, di Indonesia, keberadaan judi online dianggap ilegal dan bertentangan dengan norma sosial, sehingga memajakinya akan memunculkan multitafsir terkait legalitas aktivitas tersebut.

Jalan Tengah untuk Penerimaan Negara

Dalam situasi ini, pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit: mengejar target penerimaan negara dengan mencari sumber pajak dari berbagai sektor, namun tetap menjaga moral dan kepentingan sosial masyarakat. 

Meskipun secara ekonomi potensi pajak dari judi online terlihat signifikan, dampak sosial dan hukum yang ditimbulkan dinilai lebih besar. Banyak pakar yang merekomendasikan agar pemerintah fokus pada sektor ekonomi formal lainnya dan menghindari perpajakan dari aktivitas ilegal yang merusak tatanan sosial.

Dengan demikian, meski secara nominal judi online mungkin terlihat sebagai ladang pajak potensial, pertimbangan etika, hukum, dan komitmen pemerintah dalam pemberantasan membuatnya sulit untuk dimasukkan ke dalam sektor pajak formal. 

Pemerintah diharapkan terus mencari inovasi dalam pengelolaan penerimaan negara tanpa harus mengorbankan nilai dan norma yang dipegang masyarakat luas.