Blokade jalan hauling khusus batu bara di kilometer (Km) 101 Kabupaen Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan.
Nasional

Obvitnas Antang Terganggu Blokade Jalan Hauling di KM 101 Tapin, Pengamat Energi: Pemerintah Harus Turun Tangan

  • Pemerintah diminta segera turun tangan untuk menangani permasalahan yang menimpa PT Antang Gunung Meratus (AGM), pengelola Objek Vital Nasional (obvitnas) Antang.

Nasional

Azura Azka Syavira

JAKARTA – Pemerintah diminta segera turun tangan untuk menangani permasalahan yang menimpa PT Antang Gunung Meratus (AGM), pengelola Objek Vital Nasional (obvitnas) Antang. Adanya police line dan pemasangan portal oleh PT Tapin Coal Terminal (TCT) di underpass KM 101, Tapin, Kalimantan Selatan membuat aktivitas tambang batu bara di area Obvitnas Antang terhambat. Pengiriman batu bara kepada pelanggan menjadi tidak optimal.

Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, terganggunya aktivitas Obvitnas Antang berdampak buruk terhadap perekonomian nasional. Sebab, PT AGM memiliki tugas untuk menjaga kestabilan produksi dan pengiriman batubara Obvitnas Antang. “Perusahaan harus melakukan distribusi karena tambang batu bara Antang memiliki posisi strategis dalam ketahanan energi nasional,” kata Fahmy, Kamis, 16 Desember 2021.

Selama ini AGM merupakan salah satu pemasok batu bara bagi sejumlah sektor strategis seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dan swasta (Independent Power Producer atau IPP) yang menjual hasil listriknya ke PLN, perusahaan semen dan berbagai perusahaan penting lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai perusahaan batu bara, AGM memiliki kewajiban memenuhi domestic market obligation (DMO) minimal sebesar 25% dari jumlah produksi untuk kepentingan dalam negeri.

Menurut Fahmi, hambatan distribusi batu bara seperti yang terjadi pada AGM akan berdampak terhadap kelancaran operasional PLTU di mana akan berpengaruh terhadap ketahanan energi nasional. Termasuk juga kepada industri semen nasional yang saat ini memiliki peran penting dalam upaya mendorong pemulihan ekonomi melalui proyek-proyek pengembangan infrastruktur pemerintah dan swasta serta properti.

“Pemerintah harus turun tangan jika ada hambatan pada pada Obvitnas seperti tambang batu bara. Apalagi kenakan harga batu bara akan memberikan dampak positif terhadap penerimaan negara,” ungkap Fahmy.

Juru Bicara PT AGM Yulius Leonardo menambahkan, hingga saat ini, perusahaan telah merealisasikan kewajiban DMO sebesar 39%, jauh di atas ketentuan pemerintah sebanyak 25%. Keputusan tersebut merupakan komitmen PT AGM dalam mewujudkan ketahanan energi nasional melalui dukungan terhadap sektor kelistrikan dengan sumber energi yang efisien dan bersumber di dalam negeri yaitu batu bara.

“Sebagai perusahaan nasional, AGM memiliki komitmen dalam mendukung upaya pemerintah menyediakan sumber energi yang efisien dan kompetitif untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional. AGM juga terus berusaha menyediakan batu bara sebagai sumber energi bagi sektor-sektor industri strategis seperti perusahaan semen untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi akibat pandemi ini,” tambah Yulius Leonardo.

Seperti diketahui aktivitas distribusi Obvitnas Antang terhambat sejak 27 November lalu. Padahal sejak tahun 2010, jalan hauling tersebut sudah digunakan secara bersama dengan PT TCT. Penggunaan jalan itu berdasarkan perjanjian yang dibuat pada 2010 lalu antara PT AGM dan PT Anugerah Tapin Persada (ATP) yang saat itu sedang dalam pailit.

Sesuai perjanjian 2010, PT ATP berhak untuk menggunakan tanah PT AGM seluas 1.824 m2 di sebelah timur underpass KM 101 untuk jalan hauling ATP. Kemudian, PT AGM berhak memakai tanah PT ATP di sebelah barat underpass KM 101 untuk jalan hauling.

Ketika PT ATP beralih kepemilikan ke PT TCT, perjanjian yang dibuat pada 2010 lalu tetap berlaku dan ditaati para pihak. PT TCT sebagai pemilik baru ATP juga tidak pernah berusaha membatalkan perjanjian tersebut. Itu sebabnya, sejak memiliki ATP tahun 2011, TCT tetap menjalankan bisnisnya dengan berdasarkan perjanjian 2010 tersebut.

“Jika terjadi masalah, tentu harus ditindak secara hukum, baik perdata maupun pidana, karena hal tersebut memberikan dampak buruk. Pemasangan police line dan blokade merupakan tindakan melawan hukum karena dilakukan oleh satu pihak dan memberikan kerugian kepada pihak lain maka harus ditindak secara hukum,” tegas Fahmy.