OC Kaligis Ungkap Adanya Pemaksaan dan Ancaman di Balik Restrukturisasi Jiwasraya
- OC Kaligis mengungkapkan banyak nasabah yang dirugikan dengan harus menerima pembayaran secara cicilan tanpa bunga, serta terancam kehilangan seluruh dana mereka jika menolak perjanjian tersebut.
IKNB
JAKARTA – Otto Cornelis Kaligis, pengacara ternama, mengungkapkan kritik tajam terhadap kasus mega korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang hingga kini terus memicu keresahan di kalangan masyarakat.
Fokus utama dari pernyataannya adalah tindakan Jiwasraya yang dinilai memaksa para pemegang polis untuk menandatangani perjanjian restrukturisasi.
Akibatnya, banyak nasabah yang dirugikan dengan harus menerima pembayaran secara cicilan tanpa bunga, serta terancam kehilangan seluruh dana mereka jika menolak perjanjian tersebut.
Kondisi Pemegang Polis dalam Skema Restrukturisasi Jiwasraya
Dalam pernyataannya, OC Kaligis menyebutkan bahwa setelah skandal korupsi Jiwasraya terbongkar, pihak manajemen menyusun program restrukturisasi sebagai solusi untuk memenuhi kewajiban perusahaan terhadap pemegang polis. Namun, perjanjian restrukturisasi ini dibuat secara sepihak dan dianggap tidak menguntungkan para korban.
"Pemegang polis Protection Plan hanya diberikan pembayaran melalui cicilan lima tahun tanpa bunga, dan mereka yang menolak akan kehilangan seluruh dana mereka," ujar Kaligis di kantor OC K & Associates, Advocate, & Legal Consultants, Jakarta, Selasa, 29 Oktober 2024.
- Utang Jangka Panjang Sritex ke BCA Capai Rp1,16 Triliun
- Sekuritas Ini Revisi Target Harga Sido Muncul (SIDO) Jadi Rp620, Apa Alasannya?
- Wamenperin Peringatkan Rancangan Kemasan Rokok Polos jadi Beban Pemerintah Baru
Menurut Kaligis, langkah ini dinilai sebagai tindakan pemaksaan terhadap para nasabah yang sudah lama menyimpan dana di Jiwasraya. Banyak dari mereka, termasuk pegawai BUMN seperti karyawan Garuda, merasa terpaksa menerima perjanjian tersebut karena ancaman kehilangan dana.
Pengalihan Kewajiban ke IFG dan Diskon Sepihak
Kaligis mengkritik keputusan Jiwasraya yang mengalihkan kewajiban mereka kepada Indonesia Financial Group (IFG) tanpa melibatkan pemegang polis dalam pengambilan keputusan.
Pengalihan ini dilakukan melalui mekanisme cessie, yaitu pengalihan hak piutang, yang dilengkapi dengan syarat diskon sebesar 50% dan pembayaran selama lima tahun tanpa bunga.
“Pengalihan kewajiban ini dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan para pemegang polis dalam perjanjian pokok,” tegas Kaligis.
Ia menambahkan bahwa syarat-syarat ini dibuat sepihak, bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang seharusnya dijunjung tinggi dalam industri asuransi.
Tindakan ini, lanjutnya, melanggar beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, termasuk Pasal 1320, 1338, dan 1340 yang mengatur tentang keabsahan perjanjian.
- Baca Juga: Bagaimana Kabar Kasus 4 Asuransi Bermasalah? Kresna Life, Wanaartha, AJB Bumiputera, dan Jiwasraya
Ancaman Kehilangan Dana bagi Para Pemegang Polis
Para pemegang polis yang tidak setuju dengan perjanjian restrukturisasi terancam kehilangan seluruh dana yang telah mereka investasikan.
Menurut Kaligis, tekanan untuk menandatangani perjanjian ini sangat besar, bahkan hingga pada tingkat di mana pihak pimpinan di sejumlah instansi, termasuk perusahaan BUMN, mengarahkan karyawannya untuk mengikuti perjanjian ini agar tidak kehilangan dana mereka.
"Banyak dari mereka merasa terpaksa karena jika tidak menandatangani, dana mereka akan hangus," ungkap Kaligis. Ia menambahkan bahwa ancaman ini memberikan beban mental yang berat bagi para pemegang polis, yang merasa bahwa hak mereka telah dirampas secara sepihak.
Pasal 75 UU Asuransi dan Kewajiban Transparansi Jiwasraya
Kaligis menyoroti bahwa menurut Pasal 75 Undang-Undang Asuransi, perusahaan asuransi wajib memberikan informasi yang benar dan transparan kepada pemegang polis. Namun, dalam kasus Jiwasraya, informasi terkait kondisi keuangan perusahaan dan program restrukturisasi dianggap tidak disampaikan secara terbuka.
“Jika transparansi ditegakkan sejak awal, penjualan Protection Plan ini pasti tidak akan berhasil, dan para pemegang polis tidak akan dirugikan seperti ini,” ujar Kaligis.
Berdasarkan Pasal 75, siapa pun yang dengan sengaja menyembunyikan atau memberikan informasi yang menyesatkan kepada pemegang polis dapat dikenai pidana penjara hingga lima tahun serta denda maksimal sebesar lima miliar rupiah.
Tuntutan Korban dan Harapan pada Pemerintahan Baru
Para korban Jiwasraya, termasuk OC Kaligis yang menjadi perwakilan mereka, terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak mereka. Mereka berharap agar pemerintahan baru, di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, memberikan perhatian serius terhadap masalah ini.
“Para korban berharap Presiden dan Wakil Presiden yang baru akan membantu mereka mendapatkan kembali hak yang telah dirampas. Kami berupaya mencari keadilan melalui berbagai jalur, termasuk kepada pemerintah yang baru ini,” tutup Kaligis.
Kepercayaan Publik Terancam dan Langkah Pemulihan
Kasus Jiwasraya ini dinilai telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Transparansi dan akuntabilitas perusahaan asuransi menjadi sorotan utama agar kasus serupa tidak terulang.
OC Kaligis menegaskan bahwa masyarakat membutuhkan kepastian dan keadilan, serta pengembalian dana yang telah dipercayakan kepada perusahaan asuransi.
Dalam menghadapi kasus ini, Kaligis dan para pemegang polis berharap pemerintah dapat mengambil langkah tegas demi memulihkan kepercayaan publik.
Mereka juga menekankan pentingnya reformasi di sektor asuransi guna mencegah terjadinya praktik-praktik yang merugikan masyarakat.
- PR Prabowo: Dua BUMN Karya Masih Sakit, Utang Menggunung
- Kemenperin Minta Prabowo Sahkan Aturan Harga Gas Industri Domestik
- Prediksi Harga Tiket Timnas Indonesia Vs Jepang di Livin by Mandiri
Sejarah Berdirinya Jiwasraya: Dari Kolonial Hingga Krisis Keuangan
OC Kaligis mengatakan, Jiwasraya didirikan pada tahun 1859 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan tujuan memberikan keamanan finansial bagi masyarakat dan mendukung pengembangan usaha. Namun, reputasi perusahaan ini merosot tajam akibat praktik korupsi dan manipulasi saham yang dilakukan jajaran direksi pada era reformasi.
"Dunia asuransi adalah dunia kepercayaan. Runtuhnya Jiwasraya disebabkan oleh korupsi yang dilakukan oleh direksinya, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi ini menjadi hilang," ungkap OC Kaligis.
Ia juga menjelaskan bagaimana berbagai upaya yang dilakukan manajemen justru memperburuk kondisi keuangan Jiwasraya, termasuk dalam bentuk "gorengan saham" yang terjadi sekitar tahun 2004.
Skandal "Protection Plan" dan Upaya Penyembunyian Kondisi Keuangan
Dalam pernyataannya, Kaligis mengungkapkan bahwa di sekitar tahun 2015, Jiwasraya merancang produk asuransi "Protection Plan" untuk meningkatkan penjualan polis. Namun, ia menegaskan bahwa produk ini dipasarkan tanpa pemberitahuan kepada publik terkait masalah keuangan yang tengah melanda perusahaan.
"Bank-bank yang ditunjuk sebagai agen pemasaran, seperti Bank Rakyat Indonesia, Bank Tabungan Negara, Standard Chartered Bank Indonesia, Bank ANZ Indonesia, dan lainnya, seharusnya diberi informasi tentang kondisi Jiwasraya. Namun, hal itu sengaja disembunyikan," tambah Kaligis.