logo
<p>Wisma BNI 46 menjadi simbol gedung-gedung pencakar langit di Jakarta / Shutterstock</p>
Nasional

OECD: Gagal Bayar Mengintai Negara Berkembang, Bagaimana Indonesia?

  • OECD memperingatkan banyak negara dengan PDB di bawah US$300 miliar menghadapi risiko gagal bayar yang tinggi. Dari 100 negara yang memiliki obligasi berdaulat, 73 di antaranya berada dalam kondisi berisiko tinggi atau bahkan sudah mengalami gagal bayar.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Laporan terbaru dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengindikasikan ancaman serius krisis utang di negara berkembang dan pasar ekonomi berkembang (EMDEs).

OECD memperingatkan banyak negara dengan produk domestik bruto (PDB) di bawah US$300 miliar menghadapi risiko gagal bayar yang tinggi. Dari 100 negara yang memiliki obligasi berdaulat, 73 di antaranya berada dalam kondisi berisiko tinggi atau bahkan sudah mengalami gagal bayar. 

Negara-negara dengan PDB di bawah US$300 miliar lebih rentan terhadap krisis utang karena belum memiliki pasar obligasi mata uang lokal yang kuat.

"Hal ini menunjukkan hubungan antara perkembangan pasar obligasi mata uang lokal dan dampak siklus pentetatan global saat ini terhadap keberlanjutan," jelas OECD dalam laporannya yang dirilis ke publik, dikutip Senin, 24 Maret 2025.

Sementara itu, negara dengan PDB antara US$300 miliar hingga US$1 triliun hanya 25% yang masuk dalam kategori risiko tinggi. Beberapa pengecualian seperti Argentina dan Türkiye menunjukkan, meskipun memiliki PDB yang lebih besar, mereka masih menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan.

Belajar dari sejarah, krisis utang bukanlah hal baru. Pada dekade 1980-an, Brasil, Meksiko, dan Peru mengalami gagal bayar akibat lemahnya pasar obligasi lokal. Indonesia, Thailand, dan Filipina juga pernah mengalami restrukturisasi utang pada 1990-an. Namun, sejak 2022 hingga saat ini, ketiga negara tersebut tidak mengalami gagal bayar berkat penguatan pasar obligasi lokalnya. 

"Negara-negara ini telah mengembangkan pendekatan yang lebih strategis terhadap manajemen utang untuk mendorong pasar obligasi mata uang lokal mereka," jelas OECD menambahkan.

Posisi Utang Indonesia

Indonesia menjadi salah satu negara berkembang yang berhasil menjaga stabilitas utangnya. Per 31 Januari 2025, total utang pemerintah mencapai Rp8.909,14 triliun, naik 1,21% dibandingkan dengan Desember 2024.

Rasio utang terhadap PDB juga tetap stabil di angka 39,6%, hanya turun tipis dari 39,7% pada akhir tahun sebelumnya. Pemerintah telah menerapkan strategi pengelolaan utang yang fokus pada tiga pilar utama.

Pertama, meningkatkan penerimaan negara dengan optimalisasi pajak dan sumber pendapatan lain. Kedua, belanja berkualitas, efisien, dan produktif untuk memastikan setiap pengeluaran memiliki dampak positif terhadap ekonomi. Dan ketiga, pembiayaan yang prudent dan berkelanjutan guna menjaga keseimbangan fiskal dalam jangka panjang.

Selain itu, pemerintah juga berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi di sumber daya manusia (seperti program Makan Bergizi Gratis), ketahanan pangan dan energi, serta pengembangan desa, koperasi, dan UMKM.

Target rasio utang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 ditetapkan sebesar 39,15% pada tahun 2025 dan turun ke kisaran 39,01%-39,10% pada tahun 2029.

Ekonomi Lesu, IHSG Anjlok

Meskipun rasio utang masih dalam batas aman, kondisi ekonomi nasional menunjukkan tekanan yang semakin besar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun signifikan sebesar 2,27% ke level 6.116,15 pada perdagangan pagi, 24 Maret 2025.

Sebanyak 489 saham anjlok, sementara hanya 100 saham yang mengalami kenaikan, dengan total transaksi mencapai Rp3,93 triliun. Saham blue chip, terutama di sektor perbankan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengalami koreksi tajam. 

Beberapa faktor yang menjadi tekanan bagi IHSG meliputi ketidakpastian menjelang pengumuman kepengurusan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia Danantara, kemudian pengalihan saham seri A ke PT Biro Klasifikasi Indonesia dalam skema SWF tersebut, serta pergerakan investor yang cenderung melakukan aksi jual dan taking profit menjelang libur Lebaran.

Sejak awal 2025, IHSG telah mengalami penurunan sebesar 11,61%. Data terbaru menunjukkan bahwa investor asing melakukan aksi jual bersih (net foreign sell) sebesar Rp30,82 triliun sepanjang tahun ini. 

Pada pekan ketiga Maret 2025, modal asing keluar sebesar Rp4,25 triliun dari pasar keuangan Indonesia, dengan rincian penjualan bersih Rp4,78 triliun di pasar saham, pembelian bersih Rp1,20 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan penjualan bersih Rp0,67 triliun di Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

“Terdiri dari jual neto Rp 4,78 triliun di pasar saham, beli neto Rp 1,20 triliun di pasar SBN, dan jual neto Rp 0,67 triliun di SRBI,” papar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso, dalam keterangan tertulisnya, Jumat pekan lalu, 21 Maret 2025.

Meskipun Indonesia belum masuk dalam kategori negara dengan risiko gagal bayar tinggi, tekanan ekonomi global dan sentimen pasar tetap menjadi tantangan utama. Stabilitas ekonomi perlu dijaga dengan memperkuat fundamental fiskal, mengoptimalkan kebijakan investasi, dan memastikan sektor keuangan tetap solid.