OJK akan Batasi Lender Non-Profesional di Fintech Lending: Ruh Peer-to-Peer Terancam?
- Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyoroti kebijakan ini sebagai ancaman bagi konsep dasar P2P lending. Menurutnya, pembatasan lender individu non-profesional dapat menghilangkan "ruh" dari model bisnis ini.
Fintech
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengkaji kebijakan pembatasan lender individu non-profesional dalam ekosistem fintech lending. Kebijakan ini menuai beragam tanggapan, terutama terkait keberlanjutan konsep peer-to-peer (P2P) lending yang selama ini menjadi daya tarik utama model pembiayaan tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, lender dari kalangan bank terus menunjukkan peningkatan signifikan. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, Agusman, menyebut bahwa hal ini merupakan hasil dari sinergi antara industri P2P lending dan perbankan.
- IDLIX Hingga LK21 Ilegal, Berikut 7 Alternatif Nonton Film Legal
- Mengapa Home Alone Selalu Diputar Saat Natal dan Tahun Baru?
- Makanan dan Minuman Ini Bisa Membantu Mengurangi Kecemasan
"Jumlah lender bank terus meningkat menunjukkan sinergi industri P2P lending dengan perbankan, disertai kebermanfaatan bagi kedua belah pihak. Hal ini sejalan dengan kebijakan POJK 10/2022, di mana lender lembaga jasa keuangan (LJK) dapat memiliki 75% dari outstanding pendanaan pada akhir bulan suatu penyelenggara," ungkap Agusman melalui jawaban tertulis, dikutip Senin, 23 Desember 2024.
Menurut Agusman, kebijakan ini menjadi langkah strategis untuk meningkatkan kualitas lender dan perlindungan konsumen dalam ekosistem P2P lending. Namun, kehadiran lender bank yang semakin dominan memunculkan kekhawatiran terhadap peran lender individu.
Ruh Peer-to-Peer Terancam Hilang
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyoroti kebijakan ini sebagai ancaman bagi konsep dasar P2P lending. Menurutnya, pembatasan lender individu non-profesional dapat menghilangkan "ruh" dari model bisnis ini.
"Peer-to-peer lending itu kan seharusnya memberikan kesempatan kepada individu biasa untuk berinvestasi. Tapi sekarang lender individu malah semakin sedikit. Sebaliknya, lender dari bank meningkat tajam," ujar Nailul saat ditemui seusai peluncuran Outlook Ekonomi Digital 2025 oleh CELIOS di Jakarta pekan lalu.
Ia menambahkan bahwa jika lender individu non-profesional benar-benar dibatasi, P2P lending akan kehilangan nilai utamanya sebagai platform inklusif.
"Kalau kebijakan ini diterapkan, yang tersisa hanya lender profesional atau institusi besar. Padahal, ini adalah media pembelajaran investasi yang baik bagi masyarakat," tegasnya.
Keseimbangan dan Perlindungan Lender
Agusman menjelaskan, pembatasan lender non-profesional dilakukan demi meningkatkan perlindungan kepada para lender dan konsumen. "Ke depan, lender individu non-profesional akan lebih dibatasi untuk memberi peluang keikutsertaan lender profesional, karena mereka lebih memahami manfaat dan risiko transaksi pada P2P lending," jelasnya.
Namun, Nailul menilai kebijakan ini sebaiknya disertai dengan langkah-langkah untuk mempertahankan lender individu non-profesional, seperti penerapan profil risiko investasi.
"Kalau individu ingin berinvestasi, mereka bisa diberikan form untuk mengetahui profil risikonya. Jadi, mereka tahu apakah cocok atau tidak dengan investasi di fintech lending," usul Nailul.
Fintech Kecil Bisa Tergilas?
Pembatasan lender individu non-profesional dikhawatirkan berdampak besar pada fintech lending skala kecil. Nailul menekankan bahwa fintech kecil biasanya masih sangat bergantung pada lender individu.
"Lender individu ini, meskipun jumlahnya menurun, masih menjadi tulang punggung bagi banyak fintech kecil. Kalau mereka dibatasi, maka yang besar seperti bank dan super lender profesional akan semakin dominan," kata Nailul.
Menurutnya, kebijakan ini dapat menciptakan ketimpangan di pasar. "Ini bukan seleksi alam, tetapi peraturan yang membuat lender besar semakin diuntungkan. Kalau tidak ada guideline yang jelas, fintech kecil akan kesulitan bertahan," pungkasnya.
- Saham GOTO dan ADRO Perkasa di Pembukaan LQ45 Hari Ini
- Di Tengah Fluktuasi IHSG, Saham BBRI, EXCL hingga GOTO Bisa Jadi Peluang Menarik di 2025
- Begini Proyeksi Kinerja BBNI di 2025, Target Saham Tembus Rp6.200
Kesimpulan
Meskipun bertujuan melindungi konsumen dan lender, kebijakan pembatasan lender individu non-profesional di fintech lending memunculkan tantangan baru. Pakar menyarankan agar OJK tetap mempertahankan inklusivitas P2P lending, sekaligus memberikan regulasi yang lebih adil bagi semua pihak.
Dengan berbagai kajian yang masih berjalan, hasil akhir kebijakan ini akan menentukan masa depan industri fintech lending di Indonesia, apakah tetap menjadi ruang inklusif bagi semua kalangan atau hanya didominasi oleh institusi besar.