OJK: Inovatif Sekaligus Berisiko, Kripto Perlu Direspons dengan Kebijakan Tepat
- JAKARTA -Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai perlu aturan lebih dalam dan tepat terkait keuangan digital yang berkembang pesat, termasuk aset kripto yang belakangan marak diperbincangkan masyarakat.
Fintech
JAKARTA -Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai perlu aturan lebih dalam dan tepat terkait keuangan digital yang berkembang pesat, termasuk aset kripto yang belakangan marak diperbincangkan masyarakat.
Deputi Komisioner Stablitas Sistem Keuangan OJK, Agus Edy Siregar menyatakan, sejak 2017 OJK telah membentuk OJK Infinity yang mengembangngkan regulatory sandbox. Tujuannya adalah untuk memitigasi ekses negatif dari inovasi keuangan digital. Selain itu regulatory sandbox ini juga sebagai sarana koordinasi antara lembaga pengawas dalam bidang inovasi digital tersebut.
Hingga Januari 2022, tercatat ada 12 kategori inovasi digital dalam regulatory sandbox. Di antaranya 83 inovasi keuangan digital yang memberikan kontribusi sebesar Rp90 miliar lebih ke perekomomian sejak 2018. Lalu 113 platform peer to peer lending dengan peminjam berjumah 73,2 rekening dan pinjaman yang tersalurkan mencapai lebih dari Rp295 triliun, serta 7 platform securities crowdfunding yang telah menghimpun dana sekitar Rp473 miliar dengan jumlah pemodal sebanyak lebih dari 96 ribu entitas.
“Meski perkembangannya begitu pesat, keuangan digital harus dibarengi degan landasasan pemahaman dan respons kebijakan yang tepat. Secara umum OJK melihat tantangan keuangan digital terkait dengan aspek jangkauan koneksi digital yang masih terbatas. Ini terkait infrastruktur di daerah remote dan pedesaan. Lalu tingkat literasi digital yang masih rendah bagi masyarakat yang masih dikategorikan sebagai unbankable,"" kata Agus dalam keterangan resmi seperti dikutip Jumat, 25 Februari 2022.
- Indonesia Urutan Ke-2, Inilah Daftar Negara dengan Utang Vaksinasi Terbesar ke Bank Dunia
- Gelar RUPSLB 1 April, Sentul City (BKSL) Minta Restu Rights Issue 100 Miliar Saham
- Mengapa Pejabat The Fed Dilarang Berinvestasi di Aset Kripto?
Ditambahkan Agus, ada risiko lain dari inovasi keuangan digital yakni meningkatnya kejahatan dunia maya dan pengguanaan data pribadi atau cyber crime yang menggunakan teknik manipulasi data. Ini dibutuhkan undang-udang yang mengatur keamanan data pribadi serta pelaksanaan yang jelas terkait aturan yang telah ditetapkan.
“Di sisi lain masih ada keterbatasan talent digital dalam mendukung perkembangan ekonomi digital dan keuangan digital sehingga perlu akselerasi peningkatan SDM di level regulator dan juga pemangku kepentingan,” tambah Agus.
Tantangan Kripto
Terkait peredaran aset-aset kripto, OJK telah melarang lembaga jasa keuangan untuk menggunakan, memasarkan atau memfasilitasi perdaganagn aset tersebut. Termasuk penempatan dana dengan unsur spekulasi yang tinggi atau volatilitas lainnya. Hal ini disebabkab karena aset kripto merupakan komoditi yang diatur oleh Bapebti dan bukan merupakan produk jasa keuangan.
“Bank tentunya boleh memfasilitasi transaksi pembayaran untuk perdaganan aset kripto, namun tidak boleh memfasilitasi perdagangannya. Ini selaras dengan BI yang melarang penyelenggara sistem pembayaran dan penyelenggaran teknologi finansial di Indonesia untuk memproses transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual curancy. Jadi saya garisbawahi bahwa kripto dinilai sebagai aset, bukan currency. Jadi sampai saat ini dilarang sebagai alat pembayaran, tetapi diperbolehkan sebagai komoditas yang diperdagangkan,” tegas Agus.
Dari sisi investor, risiko yang timbul dari perdagangan aset kripto adalah kerugian yang ditimbulkan dari berinvestasi di aset ilegal seperti money game, entitas robot trading tanpa ijin, dan perdagangan aset kripto tanpa ijin. Umumnya hal ini karena iming-iming imbal hasil yang sangat tinggi, tidaka wajar, dan investor diminta untuk melakukan penyetoran dana terlebih dahulu.
“Dengan demikian OJK meminta calon investor untuk lebih berhati-hari menyikapi tawaran investasi model ini,” kata Agus
Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aptika Kominfo, I Nyoman Adhiarna menambahkan, salah satu isu kripto yang tengah hangat saat ini adalah Non Fungible Token (NFT), sebuah aset digital yang telah menarik minat investasi masyarakat Indonesia hingga global.
NFT adalah token digital, unik, langka tetapi memilki nilai. Jika dibeli seseorang, maka tidak bisa lagi dibeli yang lain. Tidak bisa dipecah-pecah dan transparan. Karena kelangkaan ini, maka berharga di komunitas aset ini dan mahal.
Menurut Nyoman, saat ini Kementrian Kominfo sedang melakukan kajian terkait dampak-dampk dari perkembangan investasi kripto jenis NFT. Menurutnya, NFT tidak lebih dari fase berikut dari teknologi blockchain. Adapun potensi aplikasi NFT ada di berbagai bidang antara lain digital identity, intelectual property, academi credential, gaming industry, ticketing, art galleries, votting, mucis, dan social media.
“Awalnya kita pesimis dengan kripto, lama-lama kita antusias. Tetapi kita sadar bahwa ini masih harus diatur. Karena tidak lama akan masuk fase normal, mulai diterapkan,” kata Nyoman.
Sejauh ini, menurut Nyoman isu yang berkembang di Indonesia antara lain terkait sejauh mana teknologi kripto atau blockchain ini diatur. Memang blockchain yang beredar sudah memilik semacam nomor identitas, namun BI tetp mengatakan bahwa kripto bukan mata uang, tetapi investasi kripto diatur dalam Kepmendag dan diawasi Bapebpti.
Selain itu, masih terdapat isu copyright digital hardware di kalangan pelaku inovasi ini. Tetapi menurut UU tidak demikian, sebelum NFT itu diatur sebagai aset yang dilindungi. Untuk itu, penyedia platrom NFT seharusnya teregistrasi sebagai penyelanggara sistem elektronik, dan kontennya harus memenuhi unsur budaya bangsa.
“Ini perijinannya harus lintas lembaga dan kementrian. Banyak negara juga mengatur isu yang sama. Beluma ada kejelasan soal hak cipta. Bahkan hanya diperbolehkan untuk game ekosistem. Sebab ada risiko money loudering yang menjadi isu di berbagai negara,” tambah Nyoman.