<p>Mitra Driver Gojek menunggu customer di dekat logo Bank Jago di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, Selasa, 16 Februari 2021. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia</p>
Pasar Modal

OJK Naikkan Syarat Modal Inti, Rumor Bank Mini Dicaplok Start Up Unicorn Makin Ramai

  • Spekulasi pasar terhadap prospek emiten bank kecil telah mencuat di tengah isu digitalisasi dan akuisisi start up unicorn terhadap bank digital. Dalam sepekan terakhir, setidaknya delapan bank mini, termasuk milik konglomerat Tommy Winata hingga Harry Tanoesoedibjo disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) akibat tingkat volatilitas yang tinggi.

Pasar Modal
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Spekulasi pasar terhadap prospek emiten bank kecil telah mencuat di tengah isu digitalisasi dan akuisisi start up unicorn terhadap bank digital. Dalam sepekan terakhir, setidaknya delapan bank mini, termasuk milik konglomerat Tommy Winata hingga Harry Tanoesoedibjo disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) akibat tingkat volatilitas yang tinggi.

Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma mengungkap sejumlah alasan yang membuat kondisi ini terjadi. Menurutnya, tren perusahaan raksasa digital yang berinvestasi atau mengakuisisi sejumlah bank kelas menengah menjadi pemicu utama spekulasi pasar terhadap bank-bank kecil tersebut.

Seperti diketahui, PT Aplikasi Karya Anak Bangsa (Gojek) melalui PT Dompet Anak Bangsa (GoPay) melakukan aksi borong saham PT Bank Jago Tbk (ARTO).

Kemudian, induk perusahaan Shopee, yakni SEA Group mencaplok PT Bank Kesejahtersan Ekonomi (BKE). Bahkan, Akulaku milik Grup Alibaba ikut mengakuisisi PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB).

Di tengah fenomena tersebut, tak sedikit pelaku pasar modal terutama para investor yang menilai kinerja sejumlah emiten bank kecil jauh dari kata memuaskan. Sehingga, saham-saham bank kecil dinilai belum layak dikoleksi berdasarkan analisis fundamental.

Suria mengisyaratkan adanya perlakuan khusus dari para investor dalam melihat prospek bank digital. Jika biasanya valuasi emiten bank dinilai secara fundamental melalui Price to Book Value (PBV), menariknya dalam hal ini sebuah emiten bank digital akan dilihat dengan kaca mata industri financial technology (fintech).

“Kalau bank digital ini banyak yang menghitungnya berdasarkan perusahaan fintech itu sendiri, jadi lebih kepada user dari fintech ini berapa besar dan sebagainya,” ujarnya saat dihubungi TrenAsia.com, Rabu 10 Maret 2021.

Kolaborasi Gojek dan Bank Jago misalnya, dipercaya akan memperluas bisnis serta memperkuat ekosistem perusahaan ride-hailing yang didirikan oleh Nadiem Anwar Makarim tersebut. Di sisi lain, dana pihak ketiga (DPK) ARTO bisa dimanfaatkan sebagai fasilitas kredit untuk para mitra yang berada di dalam ekosistem Gojek.

“Dari situlah muncul spekulasi. Itu kan nebak-nebak karena enggak semuanya bilang kalau bank-bank itu mau diambil. Tapi memang ada prospek juga kalau ada sejumlah fintech yang akhirnya membeli bank-bank kecil ini ‘kan,” tutur dia.

Seksi untuk Diakuisisi
PT Bank Capital Indonesia Tbk (BACA) disebut-sebut tengah diincar oleh SeaGroup/ Bankcapital.co.id

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi aksi merger dan akuisisi berpotensi kembali jadi tren pada tahun ini. Hal tersebut merupakan dampak dari kenaikan modal inti perbankan yakni Rp3 triliun pada 2022.

Aturan itu tertuang dalam POJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. OJK menaikkan modal inti minimum bank dari Rp1 triliun menjadi Rp3 triliun.

Untuk menuju batas waktu pengumpulan modal inti Rp3 triliun pada tahun depan, otoritas sudah meminta rancangan penambahan modal secara bertahap. Pertama-tama, modal yang harus dipenuhi adalah minimum Rp1 triliun pada 2020, Rp2 triliun pada 2021, hingga Rp3 triliun pada 2022.

Suria membenarkan bahwa regulasi yang ditetapkan OJK ini menjadi salah satu penyebab maraknya investasi dan akusisi bank-bank kecil oleh sejumlah perusahaan raksasa fintech. Bank dengan modal inti minim dipacu untuk mencari investor baru guna menaikkan modal inti perusahaan.

“Jadi bank-bank kecil ini kalau mereka tidak sanggup menaikkan modalnya, artinya mereka harus cari investor baru,” imbuhnya.

Pada kesempatan yang sama, pelaku perusahaan raksasa teknologi di Tanah Air sedang gencar membidik bisnis perbankan digital. Namun, OJK memberikan syarat modal inti minimum yang cukup tinggi bagi pihak yang ingin membentuk entitas bank digital baru, yakni Rp10 triliun.

Dengan gambaran tersebut, terjadilah simbiosis mutualisme antara dua pelaku industri tersebut. Bank-bank kecil mendapat tambahan modal sebagai pemenuhan syarat dari OJK, sedangkan pelaku fintech bisa memiliki bank digital dengan nilai investasi yang cenderung lebih murah.

“Ini memang ada dua hal yang berbeda, tapi jadi saling nyambung. Satunya butuh investor baru, di sisi lain ada yang mau punya bank dengan modal awal yang tidak terlalu tinggi dulu. Itu juga yang akhirnya membuat spekulasi pada bank digital,” papar Suria. (SKO)