OJK Rilis Aturan Kapasitas Modal Perusahaan Asuransi, Ini Rangkumannya!
- Peraturan ini mengatur berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi dan reasuransi dalam pendirian dan kelembagaannya.
IKNB
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis peraturan yang mengatur kapasitas modal perusahaan asuransi.
Aturan tersebut termuat dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
Peraturan ini mengatur berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi dan reasuransi dalam pendirian dan kelembagaannya.
Salah satu persyaratan yang diatur dalam peraturan ini adalah mengenai Modal Disetor yang harus dimiliki oleh perusahaan asuransi dan reasuransi pada saat pendirian. Berikut adalah ketentuan mengenai Modal Disetor yang harus dipenuhi:
- Perusahaan Asuransi: Perusahaan asuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
- Perusahaan Reasuransi: Perusahaan reasuransi harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah).
- Perusahaan Asuransi Syariah: Perusahaan asuransi syariah harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah).
- Perusahaan Reasuransi Syariah: Perusahaan reasuransi syariah harus memiliki Modal Disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
- Adhi Karya (ADHI) Bukukan Kontrak Baru Senilai Rp37,4 Triliun pada 2023
- Bos Bank Mandiri Serok Saham BMRI Rp1,64 Miliar
- Sektor Perkantoran Perlu Waktu Untuk Pulih
Modal Disetor pada saat pendirian harus disetor secara tunai dan penuh, yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dan/atau rekening giro atas nama perusahaan.
Perusahaan asuransi dan reasuransi dapat menempatkan Modal Disetor pada bank umum, bank umum syariah, dan/atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia. Sedangkan perusahaan asuransi syariah dan reasuransi syariah dapat menempatkan Modal Disetor pada bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia.
Dalam upaya meningkatkan modal disetor untuk pendirian perusahaan asuransi, reasuransi, asuransi syariah, dan reasuransi syariah, OJK telah menaikkan persyaratan modal disetor.
Sebelumnya, persyaratan modal disetor untuk pendirian perusahaan asuransi adalah sebesar Rp150 miliar. Namun, dengan adanya perubahan peraturan, persyaratan modal disetor untuk pendirian perusahaan asuransi telah dinaikkan menjadi Rp1 triliun.
POJK ini juga membahas tentang dana jaminan, yang merupakan salah satu persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi.
POJK menetapkan bahwa saat mengajukan izin usaha, perusahaan harus memiliki dana jaminan setidaknya 20% dari modal disetor minimum yang ditentukan.
Persyaratan ini bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan memiliki cukup dana untuk menanggung risiko dan kewajiban yang mungkin timbul dalam menjalankan bisnis asuransi.
Untuk perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi, dana jaminan harus ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum, bank umum syariah, atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia yang tidak terafiliasi dengan perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang bersangkutan.
Selain itu, perusahaan juga dapat menempatkan dana jaminan dalam bentuk surat berharga atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, dengan sisa jangka waktu jatuh tempo paling singkat 1 tahun pada saat tanggal permohonan izin usaha.
Bagi perusahaan asuransi syariah atau perusahaan reasuransi syariah, dana jaminan harus ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka dengan perpanjangan otomatis pada bank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di Indonesia yang tidak terafiliasi dengan perusahaan asuransi syariah atau perusahaan reasuransi syariah yang bersangkutan.
Selain itu, perusahaan juga dapat menempatkan dana jaminan dalam bentuk surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, dengan sisa jangka waktu jatuh tempo paling singkat 1 tahun pada saat tanggal permohonan izin usaha.
Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha wajib menyesuaikan jumlah dana jaminan sesuai dengan perkembangan usaha dan ketentuan yang ditetapkan oleh OJK mengenai kesehatan keuangan perusahaan.
Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan selalu memiliki dana yang cukup untuk melindungi kepentingan nasabah dan pemegang polis asuransi.
Dalam hal terdapat kelebihan dana jaminan, perusahaan dapat mencairkan kelebihan tersebut. Namun, dalam hal terdapat klaim yang jatuh tempo, perusahaan wajib menggunakan kelebihan dana jaminan untuk pembayaran klaim yang jatuh tempo.
Hal ini menunjukkan komitmen perusahaan untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah dan pemegang polis asuransi.
- Menimbang Nasib HMSP, GGRM hingga WIIM Akibat Kenaikan Cukai dan Pajak Ekspor
- Prakiraan Cuaca Besok dan Hari Ini 05 Januari 2024 untuk Wilayah DKI Jakarta
- Profil Anisha Dasuki dan Ariyo Ardi, Moderator Debat Ketiga Capres 2024
Sanksi Administratif untuk Menjaga Kepatuhan
Bagian keenam dari POJK No 23 Tahun 2023 membahas tentang sanksi administratif yang dikenakan kepada perusahaan yang melanggar ketentuan peraturan ini.
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang dijelaskan dalam pasal-pasal sebelumnya akan dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis atau penurunan tingkat kesehatan perusahaan.
Jika terjadi pelanggaran, OJK dapat memberikan peringatan tertulis kepada perusahaan. Namun, jika pelanggaran tersebut telah diperbaiki, sanksi peringatan tertulis akan berakhir dengan sendirinya.
OJK juga memiliki wewenang untuk mencabut sanksi peringatan tertulis jika pelanggaran sudah tidak terjadi lagi.
Sanksi administratif ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan perusahaan terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku. OJK memiliki peran penting dalam menjaga kestabilan dan kepercayaan publik terhadap industri asuransi di Indonesia.