OJK: Silakan Perusahaan Innovative Credit Scoring Lakukan Penjajakan dengan LPIP
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuka ruang yang lebih ekspansif terhadap kerja sama credit scoring di sektor keuangan. “Tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan secara lebih ekspansif,” ungkap Direktur Grup Inovasi Keuangan OJK Dino Milano dalam diskusi virtual, Senin, 23 November 2020. Seperti diketahui, Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) sebelumnya dipilih oleh OJK untuk bekerjasama […]
Nasional & Dunia
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuka ruang yang lebih ekspansif terhadap kerja sama credit scoring di sektor keuangan.
“Tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan secara lebih ekspansif,” ungkap Direktur Grup Inovasi Keuangan OJK Dino Milano dalam diskusi virtual, Senin, 23 November 2020.
Seperti diketahui, Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) sebelumnya dipilih oleh OJK untuk bekerjasama dalam pengelolaan informasi debitur. Hal ini terkait dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Dino mengakui, lembaga tersebut memang lebih dulu hadir, mengacu pada POJK LPIP Nomor 42/2019. Tugas LPIP mencakup penerbitan credit scoring, credit rating, dan agregat dari informasi keuangan saat ini. Adapun coveragenya meliputi perbankan, perusahaan multifinance, dan koperasi.
“Jadi kalau ke depan ada kerja sama dari perusahaan innovative credit scoring dengan LPIP, itu akan menjadi kolaborasi yang membangun,” ungkapnya.
Ia mengakui, saat ini LPIP masih memiliki keterbatasan terkait pengembangan model credit scoring. Sementara itu, dari sisi SLIK datanya sudah bisa dikembangkan karena bersifat formal.
Menurutnya, masing-masing lembaga memiliki kerahasiaan data sehingga belum memungkinkan untuk diakses publik.
Dino berharap, dengan adanya inovative credit scoring, LPIP dapat melakukan terobosan. Artinya, data yang diambil tidak hanya mentahan, melainkan juga data olahan.
Sebagai contoh, data dari Telkom yang bisa dianalisis secara umum, seperti lama berlangganan, ketepatan pembayaran, jumlah penggunaan, dan sebagainya.
Analisis tersebut, ungkap Dino, dapat Dengan memperlihatkan behavior dari konsumen. Selain itu, hal ini juga berlaku pada data e-commerce yang bisa diolah untuk memberikan nilai tertentu.
Kolaborasi Hasilkan Data yang Lebih Kuat
Apabila nilai tersebut disambungkan dengan data formal yang dimiliki biro LPIP, ia meyakini data yang dihasilkan akan lebih reliable.
“Untuk perusahan innovative credit scoring, silakan melakukan penjajakan dengan LPIP. Ke depan, agar mendapatkan metode informasi yang berguna untuk nilai tambah,” terang Dino.
Dino menjelaskan credit reporting system di Indonesia sendiri menganut dua sistem. Pertama adalah PCR (public credit registry) dan biro swasta, atau dalam hal ini LPIP.
Alurnya, seluruh pelapor yang wajib masuk ke SILK adalah perbankan, multifinance, dan pihak volunteer. Pemrosesan laporan bertujuan untuk mendapatkan data dan analisis data.
Data yang diperoleh dari SLIK, kemudian baru dioperasikan oleh LPIP. Di samping itu, alternative data rupanya juga dibutuhkan sehingga LPIP harus bekerja sama dengan pemilik data atau innovative credit scoring. Tujuannya untuk membangun model yang menghasilkan produk akhir seperti credit rating dan aggregator data keuangan.
Dari sanalah kawah data tersedia. Menurut Dino, data yang dimiliki oleh perusahaan credit scoring lebih banyak dibandingkan dengan LPIP. Kemampuan untuk mencreate data pun juga lebih cepat.
“Diperlukan kerja sama yang pro aktif dari masing-masing perusahaan credit scoring. Tidak lain untuk memberikan nilai tambah bagi LPIP, maupun ekonomi Indonesia secara umum,” tuturnya.