Aktifitas sebuah pasar tradisional di kawasan Kota Tangerang. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Kolom

Otonomi Daerah yang Terus Menggerogoti APBN

  • 24 tahun pelaksanaan otonomi daerah belum banyak memberi perubahan bagi rakyat di 38 provinsi. Yang ada, pemerintah daerah masih terus menengadahkan tangan ke Jakarta. Celakanya, dana itu banyak diselewengkan untuk kepentingan pribadi kepala daerah, bahkan menyimpang dari peruntukan yang tercantum di APBN.

Kolom

Andi Reza Rohadian

Otonomi Daerah (Otda) yang sudah berlangsung 24 tahun ternyata  belum dapat melepaskan ketergantungan Pemerintah Daerah (Pemda) terhadap Jakarta.  Otda sejatinya memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.  

“Salah satu tantangan dari Pemda adalah ketergantungan yang sangat besar kepada keuangan pusat. Sehingga transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) itu merupakan bagian yang sangat dominan,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (P2DD) 2024 di Jakarta, Senin, 23 September 2024.

Bendahara negara mengungkapkan penyebab ketergantungan itu salah satunya adalah  terbatasnya sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk itu ia menyampaikan pemerintah pusat mendorong Pemda meningkatkan pajak lokal. Saat ini pajak lokal ada di level 3 persen, masih jauh dari angka ideal yang 300 persen.

“Jadi pemda itu sangat sangat tergantung dari APBN melalui transfer,” ujarnya seraya menambahkan agar pemda proaktif mengidentifikasi potensi pendapatan dari pajak dan retribusi yang ada. Dengan catatan, hal itu  tanpa mengorbankan iklim investasi yang telah dibangun di daerah masing-masing. 

Sejak tahun 2016 pemerintah pusat menetapkan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) lebih besar daripada anggaran Belanja Kementerian/Lembaga (K/L). Di tahun 2016, TKDD yang ditetapkan dalam UU APBN sebesar Rp776,3 triliun sementara Belanja K/L ditetapkan sebesar Rp767,8 triliun.

Sekadar informasi, tahun 2023 TKDD mencapai Rp814,72 triliun, 2024 naik menjadi Rp 857,59 triliun, dan tahun 2025 sudah ditetapkan Rp919,9 triliun. 

Naiknya anggaran TKDD ini bertujuan untuk mewujudkan Nawacita ke-3 yang dicanangkan oleh Presiden RI, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tujuan Otonomi Daerah Masih Jauh Panggang dari Api

TKDD terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus Fisik, Dana Alokasi Khusus Non Fisik, Dana Insentif Daerah, dan Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Dana Desa. TKDD merupakan salah satu instrumen penting dalam APBN. Rasionya mencapai 1/3 dari APBN sejak desentralisasi fiskal dilakukan.

Tak heran jika di balik dampak positifnya bagi demokrasi dan pemberdayaan daerah, otda belum memberi manfaat yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hasil survei SMRC dalam rangka menyambut 20 tahun Otda terhadap 2.220 responden di 34 provinsi, terungkap hanya 17,9% publik yang menyatakan merasakan manfaat nyata dari kebijakan otda. 

Rendahnya angka tersebut mengindikasikan bahwa harapan besar publik terhadap kebijakan otda yang didesain untuk mendorong percepatan kesejahteraan dan pelayanan publik di daerah masih jauh panggang dari api. 

Adapun faktor kunci yang mendukung keberhasilan implementasi otda selama ini adalah komitmen dan kapasitas kepemimpinan Kepala Daerah. 

Lemahnya komitmen dan kapasitas kepemimpinan Kepala Daerah tergambar dari tingginya angka korupsi yang menyangkut mereka. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sepanjang 2004-2024 dari 618 kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan kabupaten dan kota, 167 perkara melibatkan walikota/bupati/gubernur dan para wakilnya.

Mengacu pada rendahnya PAD, sudah pasti yang diembat para kepala daerah adalah dana TKDD, uang pajak kita semua. Menurut data Indonesian Corruption Watch (ICW) salah satu biang kerok  maraknya korupsi kepala daerah tak lain tingginya biaya politik. 

ICW mencatat, mahalnya biaya politik setidaknya disebabkan dua hal, yakni politik uang berbentuk mahar politik dan jual beli suara. Kajian Litbang Kemendagri tahun 2015 mengungkap, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya Rp 20 – 100 miliar.

Sementara, pendapatan rata-rata gaji kepala daerah hanya sekitar Rp 5 miliar selama satu periode. 

Penggerogotan dana TKDD juga terjadi di daerah yang mendapat tambahan anggaran berupa dana otonomi khusus.  Pada 2024 dana otsus mencapai Rp13,9 triliun dan Dana Tambahan Infrastruktur Rp4,3 triliun.

Penerima dana otsus berbeda pada tiap provinsi. Aceh dijatah Rp 3,3 triliun. Papua kebagian Rp480 miliar, Papua Barat Rp 334,6 miliar, Papua Selatan Rp 375,6 miliar, Papua Tengah Rp578,3 miliar dan Papua Pegunungan Rp740,8 miliar .

Pemerintah mengarahkan dana otsus untuk mendukung percepatan pembangunan sesuai dengan rencana induk, antara lain penurunan kemiskinan, peningkatan investasi dan kegiatan strategis seperti beasiswa, jaminan kesehatan, serta bantuan langsung untuk peningkatan produktivitas masyarakat. 

Tentu saja arahan pemerintah melenceng dari sasaran. Contoh nyata dari penyelewengan itu adalah korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Papua, mendiang Lukas Enembe. KPK menyebut gubernur yang telah menjabat selama 10 tahun (2013-2023) memiliki dana operasional sebesar Rp1 triliun per tahun. KPK menyebut tindakan politisi Partai Demokrat ini sebagai grand corruption karena membuat suatu aturan yang melegalkan kegiatan-kegiatan menyimpang. KPK mencontohkan salah satu siasat jahat pria asal Distrik Kembu adalah membuat anggaran makan dan minum untuk Gubernur sebesar Rp1 miliar per hari dengan pertanggungjawaban yang fiktif.

Sebelum kasusnya diSP-3 karena terdakwa meninggal dunia, Jaksa menuduh terdakwa menerima suap sebesar Rp 45,8 miliar dan gratifikasi Rp 1 miliar. Selain korupsi, KPK juga menjeratnya dengan tindak pidana pencucian uang senilai Rp 88 miliar.

Peristiwa yang menimpa Lukas Enembe menunjukkan suramnya praktik korupsi yang terjadi di Bumi Cenderawasih.  Lukas bukan Gubernur Papua pertama yang terjerat, sebelumnya ada Barnabas Suebu, divonis empat tahun enam bulan penjara dalam kasus korupsi proyek infrastruktur senilai Rp56 miliar. 

Tidak terhitung pula jumlah sejumlah Bupati dan pejabat di Pemerintah Kabupaten atau Provinsi di Papua yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Jangan Biarkan TKDD Terus Menjadi Bancakan di Daerah

Tidak saja suram, korupsi di tanah Papua (Papua dan Papua Barat) juga ironis mengingat Provinsi tersebut masuk kategori sepuluh besar daerah termiskin di Indonesia. Lebih menyedihkan lagi Papua adalah daerah yang menerima dana otsus dengan jumlahnya sangat fantastis. 

Hingga 2024, pemerintah pusat sudah mengucurkan dana otsus untuk Papua hingga Rp140 triliun. Jumlah itu meningkat berkali lipat sejak dikucurkan pertama kali pada 2002 yang hanya sebesar Rp1,38 triliun. Untuk tahun depan pemerintah sudah menganggarkan sebesar Rp547,11 miliar bagi Papua. 

Tak kurang mirisnya, TKDD juga diambil dari anggaran pendidikan yang berpredikat paling tinggi dalam APBN, yakni 20%. Tercatat dalam APBN 2024, anggaran pendidikan senilai Rp665,02 triliun, sebanyak 52% atau Rp346,5 triliun di antaranya tersalurkan melalui TKD Dana Desa. 

Penyimpangan penyaluran APBN bagi pendidikan ini menimbulkan komplikasi di dunia pendidikan, mulai dari uang kuliah tunggal (UKT) yang selangit hingga kondisi bangunan sekolah yang rusak. 

Yang dibutuhkan sekarang adalah menuntut komitmen pemerintahan baru yang akan dilantik tanggal 20 Oktober untuk memberantas korupsi sampai akar-akarnya.Tanpa itu, dana TKDD akan terus menjadi bancakan di daerah. Alhasil semakin sulit meningkatkan kesejahteraan rakyat kita, pendidikan semakin tertinggal. 

Waktu terus berjalan, apakah kita masih berani bermimpi Indonesia akan sukses memanfaatkan bonus demografi di tahun 2045?