Outlook 2023: Kadar Tinggi Optimisme di Tengah Ketidakpastian Global
- Memulai awal tahun 2023 perekonomian Indonesia masih dihadapkan oleh ketidakpastian global. Berbagai dinamika global dan juga perang antara Rusia dan Ukraina menjadi pengingat bahwa perlu menjaga kewaspadaan dalam ekonomi makro.
Nasional
JAKARTA - Memulai awal tahun 2023 perekonomian Indonesia masih dihadapkan oleh ketidakpastian global. Berbagai dinamika seperti perang antara Rusia dan Ukraina menjadi pengingat bahwa perlu menjaga kewaspadaan dalam ekonomi makro.
Direktur Center for Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai terkait proyeksi pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi 2023 masih terlalu overshoot atau terlalu optimistis.
"Faktornya resesi global berdampak terhadap kinerja ekspor dan investasi. Sementara konsumsi rumah tangga masih jadi penopang utama, tapi perlu diwaspadai tekanan inflasi dan suku bunga berdampak ke daya beli kelompok menengah bawah," ujarnya kepada TrenAsia pada Kamis, 5 Januari 2023.
- Putin Kirim Kapal dan Rudal Tercanggihnya Keluar Kandang
- Begini Cara Mengetahui Akun Instagram Anda Telah Di-mute Seseorang
- Update Harga BBM di Seluruh SPBU dari Pertamina hingga Shell per Januari 2023
Ditambah tahun politik cenderung ditanggapi oleh kelompok 20% teratas dengan "wait and see" atau menahan keputusan investasi yang berisiko. Menjadi tantangan Indonesia dalam menghadapi 2023.
Selain itu Bhima menyoroti beberapa proyek dalam negeri yang alami pembengkakan biaya (cost overun) dengan utilitas rendah akan jadi beban bagi pertumbuhan ekonomi.
Dana APBN yang seharusnya bisa dioptimalkan untuk belanja stimulus ke industri, UMKM, dan penambahan perlindungan sosial akan tergerus untuk menutup biaya mega proyek.
Ambisi pemerintah untuk menaikan investasi menjadi Rp1.400 triliun pada 2023 juga dirasa Celios akan sulit jika pemerintah berharap dari masuknya investor saja. Investor akan berpikir ulang karena risiko di mega proyek tinggi apalagi di tahun politik mendatang.
Sementara itu untuk rupiah proyeksinya berada dikisaran Rp15.800 sampai Rp16.100 per dollar AS. Alasannya karena tekanan akibat pengetatan kebijakan moneter negara maju masih ciptakan risiko ke rupiah. Moderasi harga komoditas akan menekan penguatan rupiah karena surplus perdagangan mengecil.
Namun meskipun terlalu optimistis, Bhima mengatakan masih ada sektor yang akan tumbuh positif diantaranya makanan minuman karena kebutuhan dasar, pariwisata termasuk perhotelan, restoran, cafe, dan transportasi.
Lalu ada sektor yang berkaitan dengan pemilu, percetakan, jasa periklanan, venue dan hiburan rakyat. Jasa telekomunikasi, industri besi baja, dan industri furniture sejalan dengan pembukaan ekonomi China pasca COVID-19.
Maka Bhima berharap fokus pada mendorong pemulihan dalam sektor konsumsi rumah tangga. Apalagi setelah pencabutan kebijakan PPKM lalu dirasa Celios cukup tepat untuk dorong pemulihan konsumsi rumah tangga.
Meski pekerjaan rumah baru terkait pemulihan konsumsi rumah tangga belum memiliki paket kebijakan spesifik.