Jerman Khawatir, Rusia Akan Setop Total Pasokan Gasnya
Nasional

Outlook 2023: Nasib Mimpi Transisi Energi di Tengah Tensi Tinggi Rusia-Ukraina

  • Sementara China mulai beralih ke energi hijau, barat secara aktif mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil Rusia

Nasional

Rizky C. Septania

MOSKOW - Invasi Rusia ke Ukraina telah mengguncang kondisi ketahanan serta jalur distribusi energi global.  

Seperti diketahui, ancaman penghentian ekspor energi oleh Rusia merupakan peringatan bagi negara-negara sekutu. Aksi ini sekaligus membuat negara sekutu harus menilai kembali ketergantungan mereka yang tinggi pada impor energi dari sumber yang peka terhadap risiko geopolitik.

Pada pertengahan tahun lalu, kebijakan ekspor Rusia sebagai tanggapan terhadap sanksi skala besar, atau sebagai pencegah dukungan Barat untuk Ukraina, tampak membuat Eropa sangat sulit untuk mengelola gangguan rantai pasokan. Kala itu, Moskow berpikir bahwa sumber daya energi yang kaya memungkinkannya menghadapi volatilitas pasar yang lebih baik.

Hal inilah yang kemudian membuat Rusia bersedia mengorbankan sebagian dari pendapatan ekspornya untuk menghilangkan pasokan energi ke negara-negara barat.

Meskipun pada akhirya Eropa berhasil mempercepat diversifikasi pasokan gas dan investasi energi terbarukan untuk menghadapi ketergantungan gas Rusia, rencana tersebut digadang tak akan berlangsung lama.

Mengutip laporan Pemedianetwork Rabu, 4 Januari 2023, langkah-langkah ini akan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk diterapkan. Selain itu, tidak mungkin meredakan guncangan pasokan dan kekurangan cadangan selama 1-2 tahun ke depan. 

Inilah yang kemudian akan berakibat pada krisis energi lebih lanjut di Eropa. Tak hanya itu, diprediksi dam beberapa tahun ke depan, Barat akan merasakan harga utilitas yang lebih tinggi. Hal ini tentunya mengganggu aktivitas industri dan memicu ketidakpuasan rakyat.

Dari segi lingkungan, pemerintah negara barat harus menunda mimpinya untuk beralih ke energi bersih pada 2030. Sebab, krisis pasokan gas akibat terjadinya perang akan  mendorong pemerintah untuk menggunakan kembali batu bara dan nuklir sebagai solusi jangka pendek.

Bagi Rusia sendiri, ketegangan yang meningkat antara Barat serta  sanksi ekonomi membuat Negeri Beruang merah memutar poros ekonominya ke arah timur.

Bagi pasar Asia sendiri, impor energi dari Rusia akan membantu negara-negara timur mendiversifikasi sumber pasokan untuk lebih meningkatkan keamanan energi. 

Secara khusus, importir besar seperti China dan India ke depannya akan berada dalam posisi yang lebih nyaman untuk menegosiasikan persyaratan dengan pemasok energi lainnya.

Sementara bagi negara dengan ekonomi berkembang lainnya di Asia akan menjadi penerima manfaat utama dari minyak Rusia yang murah. Sayangnya, manfaat ekonomi dan keamanan energi ini diprediksi akan meningkatkan ketergantungan mereka pada Moskow. 

Semakin lama negara-negara ini mengandalkan pasokan Rusia yang didiskon, semakin sulit bagi mereka untuk menghapus Rusia dari rantai pasokan mereka. Alhasil, ikatan ekonomi yang lebih dekat pada akhirnya bisa jadi mendorong Asia lebih jauh ke dalam orbit politik Rusia. 

Namun perlu dicatat, pengimpor utama energi Rusia di kawasan itu tetap harus memastikan bahwa mereka tidak menginjak garis merah yang ditarik oleh AS dan UE. Karena jika tidak, negara pengimpor utama seperti China dan India berisiko terkena sanksi sekunder.

Manuver AS Terhadap Impor Energi dari Rusia

Sejak awal perang, negara barat khususnya Amerika Serikat (AS) telah melakukan berbagai mekanisme untuk membatasi pendapatan energi yang digunakan Moskow untuk mendanai invasinya ke Ukraina. Namun, efektivitas dari manuver yang dilakukan negeri Paman Sam masih dipertanyakan.

Terbaru, gagasan untuk membatasi harga ekspor minyak Rusia menjadi cerminan akan tekanan yang dialami Barat untuk menghindari krisis keamanan energi. Terlebih, ketika larangan impor Rusia oleh Uni Eropa (UE) dimulai pada bulan Desember untuk minyak mentah dan pada bulan Februari untuk produk minyak. 

Selain itu, sanksi sekunder AS juga tampaknya memiliki batasannya sendiri mengingat China dan India telah menjadi pembeli terbesar baru minyak Rusia.

Sejauh ini, dukungan Beijing untuk Moskow telah mendesak AS untuk melunakkan kebijakan negeri Paman Sam pada  China yang awalnya  keras. 

Karenanya, keputusan ekspor energi Rusia dan China  menjadi hal yang yang sulit bagi AS jika dilakukan secara bersamaan. Sebab baik China maupun Rusia sama sama memiliki kekuatan.

Walau demikian, AS kemungkinan akan menghindari memulai perang dagang di berbagai bidang, mengingat dampaknya terhadap pasar global dan rantai pasokan. 

AS berpikir, kekhawatiran tersebut hanya akan menyisakan lebih banyak ruang untuk kerja sama energi Rusia-Asia, karena negara-negara Asia Pasifik akan mencari sinyal tekad AS untuk menghadapi tantangan masa depan dari Beijing.

Dilema Energi Hijau

Krisis Rusia-Ukraina juga memperdalam perpecahan global dalam aksinya menjaga iklim. Di satu sisi, krisis energi telah mempercepat transisi energi di Eropa yang kemudian di sisi ain, hal itu juga mendorong beberapa negara Asia untuk lebih mengandalkan bahan bakar fosil untuk memastikan pasokan dasar. 

Meski peluang di Asia untuk energi terbarukan tetap kuat, penghasil emisi utama seperti batu bara dan nuklir di beberapa negara telah digandakan untuk memastikan ketersediaan pasokan energi dasar. 

Selain itu, harga minyak yang lebih murah juga akan melemahkan mereka dari penghapusan bahan bakar fosil secara bertahap sehingga menghambat transisi energi ke bahan bakar yang lebih bersih.

Proyeksi Energi Hijau di Tengah Krisis

Kebutuhan akan dekarbonisasi ekonomi dunia sebelumnya telah mendorong sejumlah negara dunia  untuk mendapatkan mineral penting. Ini sekaligus menciptakan ketergantungan perdagangan baru untuk sumber daya yang dapat menjadi rentan terhadap risiko geopolitik dan ESG seperti yang telah terbukti terjadi pada energi seperti gas dan minyak.

Dalam persaingan global untuk dominasi ruang teknologi hijau, China telah mendapatkan kendali yang signifikan atas rantai pasokan global berupa bahan sangat diperlukan untuk pengembangan energi bersih. 

Dominasi China untuk pengadaan teknologi hijau kemudian meluas ke manufaktur tenaga surya, mineral langka, serta litium dan kobalt yang dimurnikan. Selain itu China juga diketahui membangun kapasitas produksi untuk komponen baterai kendaraan listrik dan elektroliser hidrogen hijau. 

Meski pesaing strategis China telah mulai mendiversifikasi rantai pasokan bahan strategis ke negara-negara Asia lainnya, setiap relokasi dapat memakan waktu bertahun-tahun.

Sementara China mulai beralih ke energi hijau, barat secara aktif mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil Rusia. Sayangnya, Negara Barat masih akan terus bergantung pada impor mineral penting dan membuatnya terbuka terhadap potensi gangguan lebih lanjut terhadap sasaran energi dan komitmen iklimnya.