Outlook Energi 2023: Semakin Prospektif di Tengah Krisis Global
- Tahun 2023 sektor energi dan mineral masih prospektif.
Industri
JAKARTA - Sepanjang 2022 seluruh negara di dunia bertahan dan berjuang dengan krisis energi seiring pulihnya perekonomian imbas pandemi COVID-19 dalam dua tahun ke belakang.
Di saat yang bersamaan, terjadi disrupsi pada pasokan energi sehingga membuat harganya melambung hingga ke level tertinggi sepanjang masa. Invasi Rusia ke Ukraina yang memicu sanksi negara-negara Barat, termasuk terhadap komoditas energi Rusia, terutama minyak dan batu bara.
Sanksi tersebut kemudian dibalas oleh Rusia dengan secara bertahap menghentikan pasokan gas yang sangat dibutuhkan Eropa. Eropa yang sudah dilanda krisis gas sejak pertengahan 2021, beralih ke sumber energi fosil seperti minyak dan batu bara.
- Tok! Program B35 Mulai Berlaku 1 Februari 2023
- Beda Nasib Dengan SBN Domestik, Lelang Global Bond RI Oversubscribed 4,8 Kali
- Resmi Melantai di Bursa, Produsen Miras Cap Tikus Ekspansi Pabrik ke Pulau Jawa
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Rahdi justru menilai tahun 2023 khususnya sektor energi dan mineral masih prospektif. Hal ini disokong oleh ekspor komoditi tambang, aluminium, emas, perak, tembaga, nikel, bauksit dan batu bara.
"Ekspor komoditi tambang, aluminium, emas, perak, tembaga, nikel, bauksit dan batu bara masih akan meningkat baik volume maupun harga. Peningkatan ekspor tersebut akan menopang peningkatan devisa," katanya kepada TrenAsia pada Jumat, 6 Januari 2023.
Menurutnya, prospek sektor tersebut akan menjadi daya tarik bagi investor untuk masuk ke Indonesia. Larangan ekspor nikel hingga bauksit justru dalam jangka panjang akan menarik investor di sektor hilirasasi dan pengolahan produk turunan seperti baterai dan produk akhir seperti mobil listrik.
Fahmy menilai adanya peningkatan investasi di dalam negeri akan memberikan kontribusi terhadap pembukaan lapangan pekerjaan baru dan pertumbuhan ekonomi 2023.
Namun, tetap ada hal yang perlu diwaspadai selama 2023 di sektor energi, yaitu terkait impor bahan bakar minyak (BBM) yang makin meningkat dalam jumlah besar.
Hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh ke investasi dan produksi migas semakin menurun. Ditambah kebijakan pelarangan ekspor beberapa waktu lalu juga turut mempengaruhi volume meski hanya jangka pendek.
Fahmy mengatakan, pemerintah bisa menggenjot hilirisasi lebih keras, karena seiring dengan peningkatan nilai tambah hilirisasi dan produk turunan, volume ekspor akan meningkat pesat ke depannya.