Pabrik Baterai IBC Sudah Di Depan Mata, Pemerintah Siap Membumikan Mobil Listrik?
Pabrik baterai electric vehicle (EV) milik Indonesia Battery Corporation (IBC) ditargetkan melakukan groundbreaking pada Juli 2021. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut IBC bakal jadi pemasok baterai EV terbesar di dunia usai pabrik resmi beroperasi.
Industri
JAKARTA – Pabrik baterai electric vehicle (EV) milik Indonesia Battery Corporation (IBC) ditargetkan melakukan groundbreaking pada Juli 2021. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut pabrik IBC senilai Rp142 triliun itu bakal jadi pemasok baterai EV terbesar di dunia usai pabrik resmi beroperasi.
Pembangunan pabrik ini melibatkan konsorsium jumbo dari perusahaan ternama dunia. IBC menggandeng LG Chem dari Korea Selatan dan Contemporary Amperex Technology (CATL) asal China untuk masuk dalam konsorsium pembangunan pabrik baterai IBC.
“Pabrik baterai ini bukan cerita dongeng lagi, kita punya sumber daya nya, dan sekarang pabriknya akan terealisasi. Juli kita mulai groundbreaking, paling lambat di Agustus 2021,” kata Bahlil dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), dikutip Senin, 21 Juni 2021.
- Banjir Insentif Pajak Berlanjut, Simak yang Diperpanjang Hingga Akhir Tahun Ini
- Terpukul Pandemi, KAI Telan Kerugian Rp303,4 Miliar di Kuartal I/2021
- Kredit Pintar Sediakan Akses Internet untuk Panti Asuhan Muslim Nusantara
Untuk diketahui, IBC yang dibentuk oleh empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Mining and Industry Indonesia (MIND ID), PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Empat perusahaan pelat merah itu diberi tugas Menteri BUMN Erick Thohir membangun integrasi produksi baterai EV dari hulu ke hilir.
Sejalan dengan rencana groundbreaking ini, Bahlil menyebut pemerintah telah melakukan pelarangan ekspor nikel. Produksi nikel dalam negeri, kata Bahlil, bakal sepenuhnya terserap oleh produksi IBC.
“Sebanyak 50% komponen mobil listrik itu nikel, dan kita punya nikel dengan total 25% dari cadangan dunia, ini yang bakal kami manfaatkan agar IBC jadi produsen baterai terbesar di dunia,” kata Bahlil.
Target Tinggi Sang Menteri
Menurut hasil pemetaan Badan Geologi, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.987 juta ton. Angka tersebut merupakan tertinggi di dunia, dengan rincian tereka 5.094 juta ton, terunjuk, 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton dan hipotetik 228 juta ton.
Sementara itu, produksi nikel Indonesia sepanjang 2019 mencapai 800.000 ton. Capaian tersebut mengungguli Filipina dengan 420.000 ton maupun Rusia 270.000 ton. Pada 2020, diperkirakan produksi nikel Indonesia mengalami penurunan akibat pandemi COVID-19.
Produksi nikel tersebut diestimasikan mencapai 760.000 ton. Kendati demikian, angka produksi tersebut rupanya mendominasi 30% dari produksi nikel dunia.
Menteri BUMN Erick Thohir menyebut pabrik baterai ini menjadi katalis untuk membumikan mobil listrik di Indonesia. Erick menargetkan sebanyak 8,8 juta unit mobil listrik dan 2 juta unit mobil listrik sudah mengaspal di dalam negeri pada 2025.
Melihat hal itu, Pengamat Otomotif Yannes menyebut produksi yang telah terintegrasi ini membuat Indonesia berpeluang memangkas peredaran harga mobil listrik yang dinilainya masih belum terjangkau.
Menurutnya, pemerintah mesti melakukan kebijakan dukungan dengan negosiasi harga mobil listrik dengan produsen, mengingat IBC diprediksi bakal memasok baterai listrik terbesar di dunia.
“Indonesia saat ini sedang dalam tahap persiapan menuju negara produsen baterai EV yang sangat potensial, kuncinya adalah perlunya kebijakan pemerintah yang dipastikan mendukung. Agar proses pembentukan manufaktur hingga penyebaran penggunaan kendaraan listrik di dalam negeri tetap terjaga dalam trek yang jernih,” kata Yannes saat berbincang dengan wartawan Trenasia.com, Senin, 21 Juni 2021.
Konsumen Juga Perlu Insentif
Ketimpangan harga memang jadi masalah yang mengakar dalam pengembangan mobil listrik di Indonesia. Harga mobil listrik, sampai saat ini, bisa sampai dua kali lebih tinggi ketimbang mobil konvensional.
Masalah utama dari tingginya harga mobil listrik ini tidak lain adalah tarif baterai yang menguasai 50% harga mobil tersebut. Contohnya, Mobil Hyundai Kona Electric yang sebesar Rp675 juta, sebanyak Rp337,5 juta dari tarif tersebut berasal dari komponen baterainya.
Hal ini lah yang menurut Yannes perlu pemerintah perbaiki. Selain masalah harga, dirinya menilai pengguna mobil listrik di Indonesia perlu didorong dengan sederet “keistimewaan”.
“Insentif untuk konsumen juga harus jelas, konsisten dan tegas. Penerapan insentif fiskal berupa pengurangan pajak akan sangat strategis,” ujar Yannes.
Penerapan insentif ini berguna untuk memacu masyarakat beralih ke mobil listrik. Selain yang bersifat pengurangan tarif, keistimewaan ini perlu dimunculkan dalam keseharian penggunaan mobil listrik.
“Disamping berbagai kemudahan operasional kendaraan sehari-harinya. Mulai dari sistem charging, hingga kemudahan berlalu lalang di jalan raya, misalnya bebas ganjil-genap dan seterusnya,” ujar Yannes. (RCS)