<p>Tampak logo baru Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Senin, 6 Juli 2020. Logo baru yang diluncurkan pada Rabu, 1 Juli 2020 menjadi simbolisasi dari visi dan misi kementerian maupun seluruh BUMN dalam menatap era kekinian yang penuh tantangan sekaligus kesempatan. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Paceklik BUMN (Serial 1): Dividen Susut, Dompet Negara Kian Kisut

  • Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Paceklik BUMN.“

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Napas yang terengah-engah sedang dialami Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak tahun lalu membuat entitas penyumbang penerimaan negara ini mengalami gangguan bisnis yang luar biasa.

Menteri BUMN Erick Thohir mengungkap laba bersih konsolidasi seluruh perusahaan pelat merah berpotensi anjlok 77% year on year (yoy) dari Rp124 triliun pada 2019 menjadi Rp28 triliun pada 2020.

Menyusutnya laba BUMN tidak lepas dari pos pendapatan yang ikut turun menjadi Rp1.200 triliun pada 2020 dari sebelumnya Rp1.600 triliun.

Terjungkalnya kinerja BUMN jelas berimplikasi terhadap penerimaan negara. Pasalnya, dividen BUMN merupakan salah satu pos penerimaan dari Kekayaan Negara Dipisahkan (KND).

Oleh karena itu, keputusan sejumlah BUMN untuk “mengencangkan ikat pinggang” dengan tidak menebar dividen jelas memiliki efek terhadap penerimaan negara.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, target penerimaan dividen BUMN untuk tahun buku 2020 hanya mencapai Rp26,13 triliun atau susut 46,73% yoy dibandingkan dengan capaian tahun buku 2019 sebesar Rp43,8 triliun.

“Dengan kondisi 90 persen BUMN yang terpukul saat ini tadinya kita bisa menyumbang dividen Rp40 triliun, tahun ini kami targetkan minimal 25 persen dari itu (realisasi dividen tahun buku 2019) ,” kata Erick dalam rapat kerja bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Kamis, 6 Juni 2021.

Berdasarkan data yang dihimpun TrenAsia.com, sejumlah BUMN yang memutuskan absen membagi dividen tercatat masih membukukan laba bersih, meski sebagian besar mengalami penurunan. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang sudah dihelat sejumlah BUMN, berikut daftar sementara perusahaan pelat merah yang tidak membagikan dividen untuk tahun buku 2020.

PerusahaanLaba Bersih 2020 (Rp Triliun)Laba Bersih 2019 (Rp Triliun)Total saham pemerintah (%)Total Dividen 2019 (Rp Triliun)
PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR)0,5012,21700,110
PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA)0,1852,28 65,050,457
PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI)0,23 0,663510,66
PT Semen Baturaja (Persero) Tbk (SMBR)0,10 0,30 75,50,6
PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN)1,6 0,209 600,20

Direktur MNC Asset Management Edwin Sebayang menyebut keputusan yang ditempuh perusahaan pelat merah itu memberatkan penerimaan negara. Menurut Edwin, BUMN tersebut seharusnya bisa tetap membagikan dividennya meski rasionya diturunkan.

“Kalau memang masih mengalami keuntungan, perlu kasih dividen, tapi rasionya diturunkan. Karena pembagian dividen bukti kepercayaan investor dan mengisi kas pemerintah,” kata Edwin kepada TrenAsia.com, Kamis, 10 Juni 2021.

BUMN Karya Harusnya Jadi Tumpuan
BUMN Karya yang terdiri dari Adhi Karya, Wijaya Karya, Waskita Karya, PT PP, Hutama Karya, Brantas Abipraya / Twitter @waskita_karya

Edwin melihat kecenderungan minimnya BUMN Karya mengisi pos penerimaan negara. Kinerja BUMN Karya ini, kata Edwin, sangat minim terhadap penerimaan negara bahkan sebelum pandemi COVID-19.

Sejumlah proyek pembangunan yang dikerjakan BUMN Karya selama beberapa tahun belakangan memang tergolong gencar. Di balik itu, kondisi keuangan BUMN karya ini ternyata sangat terseok-seok.

Sejumlah BUMN itu tercatat memiliki jumlah utang yang tinggi. Berdasarkan laporan keuangan tahunan perusahaan. Adhi Karya tercatat membukukan utang Rp32,51 triliun dengan nilai ekuitas hanya Rp5,57 triliun.

Dengan demikian, debt to equity ratio (DER) ADHI telah mencapai 5,8 kali. Itu artinya, kewajiban utang nilainya lima kali lebih besar dibandingkan modal bersih perusahaan.

Hal serupa juga dialami PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) dengan catatan liabilitas yang jauh melebihi modal bersihnya. Liabilitas WSKT pada 2020 berada di angka Rp89,01 triliun dengan ekuitas sebesar Rp16,57 triliun.

Maka, DER perusahaan pelat merah ini pada 2020 berada di level 5,3 kali. Berselisih tipis, sejumlah BUMN Karya lain memiliki DER yang tinggi, antara lain PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PTPP) (2,81 kali), Wijaya Karya (3,08 kali), hingga Jasa Marga (3,21 kali).

Edwin menilai perlu penyehatan keuangan di BUMN Karya agar dividen yang diterima negara optimal. “Saya rasa sih, kalau BUMN itu sehat, ada kebutuhan dari pemerintah untuk mengisi kas (penerimaan negara),” ujar Edwin.

Sementara itu, Pengamat BUMN Universitas Indonesia (UI) Toto Pranoto menyebut seharusnya perusahaan pelat merah bidang karya bisa menjadi motor penggerak penerimaan sekaligus pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Toto berkaca dari efektifnya perusahaan nasional di Taiwan dan Korea Selatan yang bisa mengerek pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal itu tampak dari kemampuan pengelolaan keuangan perusahaan di dua negara dalam proyek pembangunan.

“Kalau kita lihat di Taiwan atau pun Korea Selatan, itu perusahaan pelat merah mereka sangat sehat walaupun banyak sekali proyek pembangunan yang dikerjakan,” kata Toto saat berbincang dengan TrenAsia.com, Kamis, 10 Juni 2021.

International Monetary Fund (IMF) dalam laporannya juga menyebut tingginya pertumbuhan ekonomi di dua negara tersebut merupakan buah dari efektifnya pembangunan oleh perusahaan pelat merah. Laporan yang dirilis pada 2015 itu menyebut, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Korea Selatan dan Taiwan bisa optimal berkat proyek pembangunan yang dananya tidak berasal dari utang.

Berbeda pendapat, Toto mengungkapkan keputusan sejumlah BUMN Karya yang kompak tidak membagikan dividen merupakan langkah yang tepat. Dirinya mengatakan laba ditahan itu perlu dialokasikan dengan cermat untuk penyehatan kondisi keuangan perseroan.

“Meski ramai respons negatif, laba ditahan yang diterima BUMN ini mesti dimanfaatkan untuk memperbaiki postur (keuangan), jangan buru-buru capex (capital expenditure) apalagi di masa yang masih tinggi ketidakpastiannya seperti sekarang,” kata Toto.

Himbara jadi Tumpuan
Menteri BUMN, Erick Thohir. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan target dividen yang diterima negara tahun ini mencapai Rp26,13 triliun. Menelisik lebih jauh target yang dicetuskan Erick Thohir, rupanya dividen itu disumbangkan dari empat BUMN raksasa saja.

 BUMNLaba Bersih (Rp Triliun)Total Dividen (Rp Triliun)Saham Pemerintah (%)Dividen Pemerintah (Rp Triliun)
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI)18,6512,1256,756,88
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI)17,1110,27606,16
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI)3,280,820600,492
PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM)20,816,6452,098,66
Total59,8439,85 22.19

Bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) bersama Telkom tercatat menjadi ujung tombak utama penerimaan negara dari dividen negara. Padahal, Indonesia memiliki 113 perusahaan BUMN hingga 2021.

Hal ini memunculkan pertanyaan soal kinerja banyak BUMN yang tidak kontributif terhadap penerimaan negara. Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan masih melakukan pemetaan terhadap banyaknya BUMN yang keuangannya tidak sehat.

Kendati demikian, Kartika menyebut pemetaan ini baru selesai pada 2024 mendatang. Kementerian BUMN tengah menyiapkan opsi-opsi khusus seperti restrukturisasi hingga pembubaran pada perusahaan pelat merah yang sakit.

“Sampai saat ini kami masih lakukan pemetaan dan semoga bisa selesai pada 2024. Tapi lihat di BUMN itu ada klaster-klaster yang sangat sehat juga, terutama perbankan yang jadi lokomotif utama penerimaan negara,” kata Kartika dalam diskusi virtual, Rabu, 9 Juni 2021.

Kondisi ini sebenarnya bukanlah fenomena baru. Kemenkeu mengungkap sebanyak 90% dividen BUMN untuk tahun buku 2019 yang dibagikan tahun lalu disumbangkan oleh lima perusahaan saja.

Lima perusahaan berasal dari tiga anggota Himbara, ditambah Telkom, dan PT Pertamina (Persero). Adapun total dividen tahun buku 2019 mencapai Rp44,6 triliun atau turun dibandingkan dengan tahun buku 2018 sebesar Rp51 triliun.

Melihat perkembangan ini, Kementerian BUMN menyimpulkan sulit bagi perusahaan pelat merah berkontribusi banyak terhadap penerimaan negara. Bahkan, dana suntikan ke BUMN lewat Penyertaan Modal Negara (PMN) periode 2021-2023 nilainya diproyeksikan lebih besar ketimbang penerimaan negara dari dividen.

Pada 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran PMN sebesar Rp67 triliun. Anggaran PMN itu 139% lebih besar ketimbang target dividen BUMN pada 2021 senilai Rp26,13 triliun

Sementara itu, target dividen pada 2022 naik 9,07% menjadi Rp28,5 triliun. Sedangkan target PMN pada tahun depan turun tipis menjadi Rp62 triliun. Lantas, bagaimana dompet negara bisa kembali terisi, Pak Erick? (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul Paceklik BUMN.