<p>Digital Transformation/ Opus Solution</p>
Industri

Pajak Digital Harus Berikan Perlindungan Konsumen

  • JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ira Aprilianti menyebut kegiatan ekonomi digital yang melibatkan penyedia jasa dan layanan serta konsumen juga membutuhkan adanya payung hukum terkait perlindungan konsumen. Untuk itu, Ira mendorong pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena UU ini belum memasukkan ekosistem ekonomi digital di […]

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ira Aprilianti menyebut kegiatan ekonomi digital yang melibatkan penyedia jasa dan layanan serta konsumen juga membutuhkan adanya payung hukum terkait perlindungan konsumen.

Untuk itu, Ira mendorong pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena UU ini belum memasukkan ekosistem ekonomi digital di dalamnya.

“Perlindungan ini diharapkan mampu meningkatkan kepercayaan konsumen dalam bertransaksi dan merupakan instrumen penting untuk pemerintah siapkan sebelum mengimplementasi pajak digital,” kata Ira dalam keterangan resminya, Senin, 22 Juni 2020.

Sebagaimana diketahui, pemerintah akan mulai memungut pajak digital per 1 Juli mendatang. Meski begitu, Ira menilai ada beberapa hal yang belum terakomodir, seeperti transaksi tanpa tatap muka, penggunaan internet, kegiatan reselling, kontrak digital, peran pihak ketiga atau intermediary parties, jumlah dan jenis data yang boleh dikumpulkan penyelenggara, transaksi lintas negara, dan transaksi yang melibatkan produk digital dan layanan elektronik seperti perangkat lunak, musik dan film digital.

Regulasi Belum Memadai

Kendati Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik telah dilegalisasi untuk memberikan perlindungan konsumen digital, peraturan tersebut belum bisa menjamah jasa digital yang berbeda karakteristiknya dengan penjualan barang secara daring (online).

Saat ini, PP No. 80/2019 masih menyamaratakan barang dan jasa, akan tetapi dia mengatakan seharusnya PP ini memisahkan anatara barang dan jasa, seperti contohnya terkait kontrak digital, yang merupakan instrumen penting perlindungan konsumen.

Selain itu, regulasi saat ini belum mampu menjamin adanya lingkungan digital yang aman bagi konsumen. Contohnya, pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU Siber) masih belum mengalami kemajuan signifikan.

“Pajak akan memberikan pemerintah pendapatan negara, yang pada akhirnya harus dibayar konsumen. Contohnya, mulai 1 Juli, pengguna Netflix akan membayar lebih 10%, dan jika ini bertujuan untuk menyamakan level playing field sektor bisnis, itu juga harus didukung perlindungan konsumen yang setara antara konsumen offline dan online,” terang Ira.

Tiga Rekomendasi

Setidaknya, ada tiga rekomendasi, pertama, pemerintah harus segera siapkan instrumen perlindungan konsumen digital baik melalui revisi UU Perlindungan Konsumen, legislasi UU Perlindungan Data Pribadi, dan UU Ketahanan dan Keamanan Siber.

Kedua, pemerintah harus siapkan manajemen perlindungan konsumen digital, termasuk jasa digital. Saat ini, komplain konsumen atas jasa digital, misalnya langganan tayangan dan musik, belum terpetakan secara jelas pada kementerian mana.

Ketiga, pemerintah harus pastikan besaran pajak yang proporsional sehingga tidak menghambat kemajuan ekonomi digital di Indonesia. Harus dipastikan juga dampak atas pajak ini adalah kepada pelayanan publik yang lebih baik.

“Jangan sampai, konsumen enggan membayar karena pajak yang terlalu mahal dan memilih penggunaan konten ilegal. Pemungutan pajak harus didukung pelayanan publik yang lebih baik, terutama ketika melaksanakan transaksi digital,” sebut Ira.