Pajak Karbon Masih Alot, Sejauh Mana Program Pensiun Dini PLTU
- Tarik ulur penerapan pasar karbon tak kunjung menemui titik terang, menyebabkan tertundanya implementasi. Pemerintah masih memperhitungkan serangkaian hal untuk mempersiapkan pasar karbon di Indonesia.
Nasional
JAKARTA - Tarik ulur penerapan pasar karbon tak kunjung menemui titik terang, menyebabkan tertundanya implementasi. Pemerintah masih memperhitungkan serangkaian hal untuk mempersiapkan pasar karbon di Indonesia.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, pemerintah masih memiliki tantangan besar untuk mencapai penurunan emisi karbon ini apalagi menggerakkan pasar karbon.
"Target besar untuk pengurangan emisi, dan biayanya juga tidak main-main. Pensiun dini PLTU batu bara bisa jadi opsi. Asal ada biayanya yang besar," ujar Mamit saat dihubungi TrenAsia pada Selasa,18 Oktober 2022.
- Investree Salurkan Kredit Rp18,65 Triliun per Kuartal III-2022, Naik 55,2 Persen
- Kinerja Saham AS Membaik, Mayoritas Aset Kripto Big Cap Masuk Zona Hijau
- Produksi Beras Sepanjang 2022 Naik 2,29%
Mamit menambahkan, memang pajak karbon merupakan salah satu instrumen penting bagi transisi energi Indonesia menuju green energy atau energi baru terbarukan (EBT). Jika ingin menghindari pajak perusahaan harus mengurangi emisinya, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Namun hal ini bisa menambah beban operasional industri tersebut, jika penerapan pajak karbon kepada PLTU resmi dilakukan, Mamit menyoroti, kemungkinan besar bisa meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik dan berdampak kepada kenaikan tarif listrik.
Meskipun menurut Mamit, hal ini juga menjadi ganjalan yang menyulitkan bagi pengusaha, namun bagi PLTU-PLTU yang baru dibangun pasti memiliki teknologi yang sudah lebih canggih dan bisa menjaga dari ambang batas yang ditentukan, sehingga transisi ke energi baruterbarukan menjadi lebih mudah.
Tetap saja penerapan pajak karbon mesti memperhitungkan dampaknya terhadap produk industri serta ada uji coba dalam penerapan pajak karbon. Tak hanya memperhatikan skema yang ada saja seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) saja.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut bahwa pelaksanaan pasar karbon belum bisa dilakukan karena kondisi perekonomian yang belum stabil akibat hantaman pandemi COVID-19.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana memastikan pemerintah sudah menyiapkan regulasi, sehingga pasar karbon bisa segera diimplementasikan.
Berbeda dengan Kementerian ESDM, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto justru pede perdagangan karbon dan pajak karbon akan diterapkan pada 2025.
Airlangga mengungkapkan skema ini merupakan wujud komitmen pemerintah untuk mencapai target net zero emission (NZE) di 2060.