Pak Jokowi dan Pak Anies Baswedan, Riset Ideas Bongkar Parahnya Penanganan COVID-19 di Indonesia
Tingkat kematian tertinggi ditemui di Jawa Tengah sebanyak 7,2%, disusul Jawa Timur sebanyak 7,1% dan Bengkulu 6,9%.
Nasional
JAKARTA – Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), melihat tanda-tanda sistem kesehatan kini mulai menuju batas kapasitasnya. Sementara kasus positif COVID-19 Indonesia terus melonjak tiap waktunya.
Hingga 5 September, angka case fatality rate (CFR) mencapai 4,2%, atau 7.940 kematian. Di saat yang sama, kasus positif yang membutuhkan perawatan mencapai 24,3%, atau sebanyak 46.324 pasien.
Peneliti Ideas Nuri Ikawati mengungkapkan angka kematian harian pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) periode April-Juni rata-rata 26 kasus. Kemudian melonjak saat PSBB transisi pada Juli-Agustus menjadi 73 kasus per hari. Lalu saat ini pada periode Agustus-September menembus 80 kasus kematian tiap harinya.
“Angka-angka tersebut menunjukkan pola akselerasi yang mencemaskan. Sementara kasus positif harian yang juga terus menanjak,” kata Nuri melalui keterangan pers yang diterima TrenAsia.com, Sabtu 12 September 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Nuri menambahkan, sebagai negara ke-4 dengan populasi terbesar di dunia, pandemi COVID-19 yang tak terkendali akan mengancam jutaan nyawa anak negeri, sekaligus menciptakan ketidakpastian regional dan bahkan global. Bahkan, katanya terdapat sedikitnya 59 negara yang melarang warga Indonesia masuk ke negaranya akibat tingginya kasus COVID-19 di dalam negeri.
“Keengganan Indonesia mengunci diri pada awal pandemi harus dibayar mahal, yaitu dikunci oleh dunia,” tegasnya.
Ideas menilai, dengan standar global di kisaran 3%, angka CFR Indonesia yang berada di atas 4% harus dibaca sebagai tanda batas kapasitas sistem kesehatan. Tingkat kematian tertinggi ditemui di Jawa Tengah sebanyak 7,2%, disusul Jawa Timur sebanyak 7,1% dan Bengkulu 6,9%.
“Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah episentrum wabah selain DKI Jakarta, dengan kasus aktif yang tinggi. Bengkulu menjadi kasus mengkhawatirkan karena dengan keterisian tempat tidur di RS yang rendah hanya 14,5 persen, namun memiliki CFR yang tinggi,” ungkap Nuri.
Kapasitas Sistem Kesehatan Daerah
Ideas juga mengonstruksi indeks kapasitas RS rujukan COVID-19 daerah melalui dua variabel, yaitu jumlah tenaga kesehatan dan keterisian tempat tidur. Nuri bilang terdapat korelasi antara indeks kapasitas RS dengan tingkat kesembuhan pasien. Provinsi dengan indeks kapasitas RS yang tinggi cenderung memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi, begitupun sebaliknya.
Nyatanya, hasil simulasi Ideas menunjukkan tidak ada provinsi yang memiliki indeks kapasitas RS yang tinggi. Provinsi dengan indeks kapasitas RS tertinggi termasuk kategori sedang yaitu Kepulauan Bangka Belitung (0,32), Kepulauan Riau (0,29), Kalimantan Utara (0,28), dan DI Yogyakarta (0,27). Sementara provinsi dengan skor indeks terendah adalah Gorontalo (0,101), Papua (0,09), Sumatra Utara (0,08) dan Banten (0,07).
“Terlihat bahwa provinsi dengan skor indeks kapasitas RS yang rendah memiliki peluang lebih besar untuk gagal dalam mengendalikan tingkat kematian, seperti Banten dan Sumatera Utara. Sebaliknya, provinsi dengan indeks kapasitas RS yang lebih tinggi cenderung lebih mampu mengendalikan tingkat kematian,” jelasnya.
Dari temuan Ideas Per 8 September 2020, lanjutnya, jumlah kasus yang diperiksa baru pada kisaran 1,4 juta, hanya 5.291 per 1 juta penduduk atau 0,53% dari total penduduk. Ini salah satu yang terendah di dunia. Pemeriksaan inipun sangat tidak merata di mana setengahnya terkonsentrasi di DKI Jakarta yang penduduknya hanya 4% dari populasi nasional.
“Dengan baru 0,53 persen penduduk yang diperiksa, maka kita berada dalam kabut data. Artinya tidak ada basis data yang kuat yang memandu kebijakan. Pemetaan lokasi dan risiko penularan, pelacakan terhadap kontak erat dan isolasi suspek, tidak akan berjalan efektif,”ujar Nuri.
Dengan kapasitas pemeriksaan rendah dan temuan kasus positif tinggi, maka diduga kuat banyak kasus yang tidak terdeteksi dan sangat berpotensi menjadi penyebar virus. Jika tidak ada kebijakan yang tepat, kondisi ini menjadi tidak berbeda dengan herd immunity.
“Dalam tiga bulan terakhir terlihat kecenderungan yang mengkhawatirkan di mana positivity rate secara konsisten terus meningkat dari kisaran 11,7 persen pada awal Juli menjadi kini di kisaran 13,7 persen pada awal September. Sedangkan standar positivity rate dari WHO di kisaran 5 persen. Maka pengendalian transmisi COVID-19 dapat dikatakan mengkhawatirkan dan menunjukkan tanda-tanda semakin tidak terkendali,” tutup Nuri. (SKO)