Nasional & Dunia

Pakar Gizi Sebut SKM Tidak Sebabkan Kegemukan

  • Berbagai hasil penelitian menunjukkan penyebab kegemukan pada anak usia sekolah bukan akibat konsumsi makanan berisiko (gula, garam, lemak, berpengawet),  melainkan kurangnya aktivitas fisik. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%. Kenaikan prevalensi ini berhubungan dengan pola hidup, antara lain merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktivitas fisik, serta konsumsi buah dan sayur.

Nasional & Dunia
trenasia

trenasia

Author

 

JAKARTA – Achmad Syafiq, Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia mengatakan bahwa belum ada bukti yang menyatakan susu kental manis menyebabkan kegemukan. Dia menjelaskan bukti meyakinkan (convincing) mengenai pemicu risiko kegemukan adalah rendahnya aktivitas fisik, rendahnya asupan serat, dan tingginya asupan energi harian total.

 

 

Berbagai hasil penelitian menunjukkan penyebab kegemukan pada anak usia sekolah bukan akibat konsumsi makanan berisiko (gula, garam, lemak, berpengawet),  melainkan kurangnya aktivitas fisik. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat, berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari 6,9% menjadi 8,5%. Kenaikan prevalensi ini berhubungan dengan pola hidup, antara lain merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktivitas fisik, serta konsumsi buah dan sayur.

 

“Jadi bukan dari satu jenis pangan,” kata Syafiq kepada wartawan di Jakarta, Kamis (8/11).

 

 

Peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Amaliya mengatakan bahwa upaya pemerintah mengatasi berbagai masalah kekurangan gizi di Indonesia perlu diapresiasi. Riskesdas 2018 telah menunjukkan perbaikan status gizi balita di Indonesia. Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%. Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang turun dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%.

 

Menurut dia, sangat penting seluruh pemangku kepentingan bersatu dan bekerja sama mengatasi permasalahan gizi di Indonesia. Salah satunya dengan meningkatkan konsumsi susu dalam kehidupan sehari-hari. Susu dan produk olahannya memiliki kandungan protein, lemak, dan vitamin yang sangat dibutuhkan guna mendukung perkembangan seseorang di setiap tahap kehidupan.

 

Namun, konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi susu masyarakat Indonesia pada tahun 2017 hanya berkisar 16,5 liter/kapita/tahun, sangat rendah dibandingkan negara ASEAN lain sesuai data USDA Foreign Agricultural Service 2016 seperti Malaysia (50,9 liter), Thailand (33,7 liter), dan Filipina (22,1 liter).

 

Sampai saat ini, salah satu yang berandil besar terhadap konsumsi susu di masyarakat adalah susu kental manis. Akan tetapi, pandangan sebagian pihak mengenai susu kental manis terutama menyangkut kandungan gula dan susu masih kurang tepat sehingga memicu polemik. Untuk meluruskan berbagai perbedaan pandangan itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Peraturan (Perka) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Peraturan ini mewajibkan label produk susu kental manis mencantumkan keterangan “Perhatikan! Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu; Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan; dan Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi”.

 

Peraturan 31/2018 juga menegaskan susu kental manis sebagai produk susu, sejalan dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan. “Dalam aturan tersebut menyimpulkan susu kental manis adalah susu dan konsumsinya perlu memerhatikan aturan BPOM,” kata Amaliya.

 

Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM Anisyah berharap, penerbitan Perka BPOM 31/2018 akan menjawab berbagai pertanyaan masyarakat. Sesuai Perka tersebut, susu kental manis merupakan produk susu yang dapat dikonsumsi untuk meningkatkan gizi masyarakat Indonesia. Namun, seperti halnya pangan olahan lain, susu kental manis tidak bisa dijadikan satu-satunya sumber gizi. Oleh karenanya, setiap pangan olahan harus didampingi sumber nutrisi lain agar lebih seimbang. 

 

“Kami sebagai bagian dari Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk memastikan efektivitas National Food Control Systems, salah satunya melalui pengawasan, dalam hal ini evaluasi dan verifikasi terhadap sistem keamanan pangan yang diterapkan oleh industri,” ujar Anisyah.