<p>Emiten makanan ringan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) atau TPS Food saat menggelar RUPS di Bursa Efek Indonesia (BEI) / Dok. Perseroan</p>
Industri

Pakar Hukum: Kekayaan Pribadi Perekayasa Keuangan TPS Food Bisa Disita

  • Kasus hukum yang melibatkan dua petinggi PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) bisa menjadi preseden buruk bagi emiten pasar modal. Pasalnya, praktik mempercantik laporan keuangan di penghujung tahun atau beken dengan sebutan window dressing itu kerap merugikan investor.

Industri
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Kasus hukum yang melibatkan dua petinggi PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) bisa menjadi preseden buruk bagi emiten pasar modal. Pasalnya, praktik mempercantik laporan keuangan di penghujung tahun atau beken dengan sebutan window dressing itu kerap merugikan investor.

Pakar Hukum Bisnis Universitas Airlangga, Budi Kagramanto menilai, kasus TPS Food ini merupakan tindak pidana yang merugikan banyak pihak. Pertama adalah investor yang berinvestasi di saham AISA, lalu perusahaan itu sendiri, dan tentunya citra pasar modal.

Sebab itu, ia pun mewanti-wanti kepada seluruh emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) agar meyampaikan laporan kinerja tahunan secara benar. Salah-salah, emiten hampir pasti bakal berurusan dengan hukum.

“Kalau setiap perusahaan melakukan hal seperti itu bisa kacau. Sudah tepat Jaksa Penuntut Umum menggunakan UU Pasar Modal kepada terdakwa, ada ketentuan pidana di situ. Pertanggungjawabannya bisa sampai kekayaan pribadi,” kata Budi, Senin, 4 Januari 2020.

Seperti diketahui, manajemen lama TPS Food, yakni eks presiden direkturnya Joko Mogoginto dan eks direkturnya Budhi Istanto kini tengah menjalani persidangan di PN Jaksel atas tuduhan penggelembungan (overstatement) piutang anak usaha dalam laporan keuangan tahun 2017. Imbasnya, laporan keuangan konsolidasi AISA tampak menarik.

Cantiknya laporan keuangan tersebut membuat investor di pasar modal membeli saham AISA. Harga saham AISA pun sempat melesat hingga Rp 2.360 per saham pada 2017. Namun kinerja tersebut hanya di atas kertas, sebab fundamental AISA saat itu bertolak belakang dengan laporan keuangan.’

Kronologi Kasus

Kejanggalan mulai terendus ketika AISA gagal bayar kewajiban bunga Obligasi dan Sukuk. Waktu itu, Joko Mogoginta dalam keterbukaan Informasi ke BEI menyampaikan “Posisi kas dan setara kas perusahaan per tanggal 26 Juni 2018 belum memadai untuk membayar bunga obligasi dan sukuk yang akan jatuh tempo 19 Juli 2018,”

Padahal, dalam Laporan Keuangan 2017 tercantum adanya dana kas per 31 Desember 2017 sebesar Rp181,6 miliar. Namun, hanya selang beberapa bulan, dalam keterbukaan informasi perusahaan, per 26 Juni 2018, posisi kas perusahaan hanya sebesar Rp48 miliar.

Harga saham AISA pun lantas amblas hingga ke kisaran level Rp 168. Hasilnya, BEI pun menghentikan perdagangan saham AISA.

Tidak berhenti di situ, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantas menyelidiki dan hasilnya diketahui bahwa ada pelanggaran dalam laporan keuangan AISA. Terendus aliran dana kepada perusahaan-perusahaan terafiliasi milik direksi AISA.

Saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan, para pemegang saham meradang. Mereka memutuskan untuk menolak laporan keungan sebagai pertanggungjawaban direksi saat itu. Rapat itu juga memutuskan untuk turut memberhentikan Joko Mogoginta dan Budhi Istanto dari jabatannya.

Selanjutnya, pemegang saham yang merupakan investor retail menuntut keadilan pada hukum atas tindakan dua kakak-beradik ini sampai perkara berujung ke pengadilan. Dalam perkara ini, Budi menyebut, pelanggaran yang terjadi pada TPS Food merupakan kasus hukum berat dan masuk pidana penggelapan.

“Jadi selain UU Pasar Modal, bisa juga UU Perseroan Terbatas (PT),” terang Budi Kagramanto.

OJK Harus Tegas

Setali tiga uang denagn Budi, pengamat pasar modal, Adler Haymans Manurung juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, rekayasa laporan keuangan dalam akuntansi itu istilahnya adalh Smoothing the Income.

Bila ada emiten yang melakukan rekayasa, kata dia, kemungkinan besar emiten tersebut merasa bisa melakukannya dan merasa dapat lolos dari pengawasan. Oleh karena itu, kata Adler, agar kejadian serupa tidak terulang, OJK perlu membuat divisi khusus untuk hal ini.

“Melihat kecurangan emiten, merupakan salah satu bagian dari perlindungan investor,” katanya.

Dalam kasus mantan direksi AISA, lanjut Adler, bisa berlaku UU Pasar modal. Namun hukuman berupa penjara dan denda Rp15 miliar dalam UU Pasar Modal menurutnya masih kurang.

“Pelakunya juga harus di-blacklist, tidak bisa jadi direksi perusahaan Tbk (terbuka), termasuk anak perusahaannya,” tegas Adler.

Pelaku pasar berharap OJK sebagai ujung pertahanan ketidakberesan emiten dapat melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang merugikan investor dan merusak citra pasar modal. Tidak hanya menunggu laporan dari investor.

“Harus bisa jemput bola,” pungkas Adler.

Saat ini, sidang mengenai kasus AISA masih terus berlangsung. Sejatinya sidang pemanggilan saksi-saksi mantan direksi AISA dilakukan pada Rabu, 16 Desember 2020. Namun tertunda dan akan berlanjut pada Rabu, 6 Januari 2021.