Pakar: Larangan Penjualan Rokok Eceran Justru Gencet Ekonomi UMKM
- Pembeli rokok eceran seringkali juga membeli produk lain seperti makanan dan minuman. Larangan ini bisa mengurangi transaksi yang terjadi, pada akhirnya mempengaruhi pendapatan UMKM.
Nasional
JAKARTA – Kebijakan pemerintah melarang penjualan rokok secara eceran telah menuai berbagai tanggapan, salah satunya dari pengamat ekonomi Gitadi Tegas Supramudyo.
Meski secara langsung dampak ekonomi kebijakan ini tampak kecil, Gitadi menekankan dampak tidak langsung atau multiplier effect terhadap UMKM cukup signifikan.
Menurutnya pembeli rokok eceran seringkali juga membeli produk lain seperti makanan dan minuman. Larangan ini bisa mengurangi transaksi yang terjadi, pada akhirnya mempengaruhi pendapatan UMKM.
“Meskipun dampak langsung dari larangan penjualan rokok eceran terlihat kecil untuk UMKM namun dampak tidak langsung atau multiplier effect-nya akan cukup besar,” terang Gitadi, di Surabaya, dilansir Antara, Selasa, 27 Agustus 2024.
Pengaruh pada Pengeluaran Konsumen
Gitadi juga menyoroti potensi peningkatan pengeluaran masyarakat akibat kebijakan ini. Dengan tidak adanya opsi membeli rokok secara eceran, konsumen terpaksa membeli rokok dalam satu bungkus, yang lebih mahal. Hal ini bisa membuat konsumen berpikir dua kali sebelum membeli barang-barang lain yang biasanya mereka beli bersama rokok eceran
"Orang yang membeli rokok eceran biasanya juga membeli produk lain seperti gorengan atau nasi bungkus. Ini yang perlu dipertimbangkan dalam analisis dampak kebijakan ini," terang Gitadi.
Gitadi mempertanyakan efektivitas kebijakan ini dalam mengurangi jumlah perokok aktif. Ia berpendapat kebijakan ini mungkin sulit diimplementasikan dengan baik di lapangan, mengingat kebiasaan dan pola konsumsi rokok di masyarakat yang sudah mengakar.
Pergeseran Pola Konsumsi
Selain itu, Gitadi memperkirakan kebijakan ini mungkin hanya akan menggeser pola konsumsi rokok. Alih-alih mengurangi jumlah perokok, kebijakan ini bisa saja hanya mengubah cara mereka membeli rokok, misalnya dpergeseran cara membeli dalam jumlah besar atau berpindah ke produk tembakau lain.
Sebagai solusi, Gitadi menyarankan pemerintah mencari kebijakan yang lebih seimbang antara tujuan kesehatan masyarakat dan kepentingan ekonomi UMKM.
Ia juga menekankan pentingnya sosialisasi dan edukasi yang lebih intensif kepada masyarakat agar kebijakan ini dapat diterima dan dijalankan dengan baik.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, kebijakan larangan penjualan rokok eceran akan menjadi ujian bagi pemerintah dalam menyeimbangkan antara kesehatan publik dan dampak ekonominya.
Tarikan Pajak Besar, Penjualan Dibatasi
Penjualan rokok di Indonesia mengalami pembatasan meskipun kontribusi pajaknya terhadap pendapatan negara sangat besar.
Menurut Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heriyanto, setiap kotak rokok dikenakan tiga jenis pungutan utama, yaitu cukai rokok, pajak pertambahan nilai atas penyerahan hasil tembakau (PPNHT), dan pajak rokok. Sehingga, total pungutan dari ketiga komponen ini mencapai 68 persen dari harga jual rokok.
Nirwala menggambarkan besarnya kontribusi pajak dari rokok. Jika satu kotak rokok dijual seharga Rp10.000, maka dari jumlah tersebut, negara memperoleh Rp6.800 dalam bentuk berbagai pungutan pajak.
“Pungutan satu kotak rokok itu ada tiga, yaitu cukai rokok, pajak pertambahan nilai atas penyerahan hasil tembakau (PPNHT), dan pajak rokok yang totalnya 68 persen. Jadi, kalau misal satu kotak rokok ini harganya Rp10.000, maka pungutan negara itu Rp6.800,” terangnya.